Makna ‘Ya Ayyuhalladzina Amanu’ dalam Al-Baqarah 183, Oleh Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dosen UNISA Surabaya
PWMU.CO – Syekh Manna bin al-Khalil al-Qattan, dalam bukunya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, mengatakan di dalam al-Quran, terdapat beberapa ayat yang sama atau mirip pada bagian-bagiannya yang tertentu. Salah satunya adalah ayat yang diawali dengan ungkapan ‘ya ayyuhalladzina amanu’. Setidaknya ada 89 ayat di al-Quran yang memiliki penggalan kalimat tersebut. Secara harfiah, kalimat ya ayyuhalladzina amanu memiliki arti “wahai orang-orang yang beriman”. Penggalan ayat ini sering disebut dan diperdengarkan dalam tausiah keagamaan.
Di antara ayat yang mengandung kalimat ya ayyuhalladzina amanu adalah Surat al-Baqarah ayat 183. Dalam ayat ini seruan ya ayyuhalladzina amanu berperan sebagai kalimat perintah yang ditujukan kepada umat Islam agar melaksanakan kewajiban berpuasa Ramadhan. Dalam kajian para ulama, kalimat ya ayyuhalladzina amanu berkaitan erat dengan perintah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Bagi yang menjalankannya dengan baik, Allah telah menyiapkan balasan kebaikan yang berlipat ganda.
Menurut Quraish Shihab, kalimat ya ayyuhalladzina amanu adalah panggilan sayang yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Allah memanggil dengan sebutan “orang-orang yang beriman” agar kaum Muslimin bersedia melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan demikian bisa dikatakan pada setiap ayat yang dimulai dengan ya ayyuhalladzina amanu, setidaknya mengandung dua kepastian, yaitu kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya dan perintah yang harus dikerjakan atau larangan yang harus dijauhi.
Ya Ayyuhalladzina Amanu dalam A-Baqarah 183
Mengacu pada keterangan Quraish Shihab di atas, maka perintah puasa ramadhan merupakan manifestasi dari kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya. Mafhumnya, sekiranya tidak karena kasih sayang-Nya, tentu tidak ada kewajiban puasa ramadhan. Sehingga rugi besar bagi siapa saja yang tidak menyambut kasih sayang itu dengan sebaik-baiknya.
Inilah di antara maksud ayat yang terdapat dalam al-Baqarah 64. Falau lā faḍlullāhi ‘alaikum wa raḥmatuhụ lakuntum minal-khāsirīn. Yang artinya, Kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian, niscaya kalian tergolong orang-orang yang rugi. Ada kesempatan emas untuk menjadi al-maghfurin atau orang-orang yang diampuni dosanya, bagia siapa saja yang berkesempatan hidup dalam bulan Ramadhan. Sebagaaimana sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah.
مَن صَامَ رَمَضَانَ، إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ
Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan atas dasar iman dan semata-mata mengharap ridha Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat.
Alawi bin Abdil Qadir Assegaf, dalam https://dorar.net/hadith/sharh/2643, menjelaskan bahwa hadits ini merupakan kabar gembira (busyra) dari Rasulullah SAW, kepada orang-orang yang diberi kesempatan untuk berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Yaitu berpantang terhadap makanan dan minuman, segala sesuatu yang membatalkan puasa, dan hubungan intim suami istri, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat taqarrub atau pendekatan diri kepada Allah SWT.
Makna imanan wa ihtisaban, adalah percaya bahwa perintah puasa berasal dari Allah SWT, menyadari bahwa mengerjakannya adalah wajib, takut akan siksa manakala mengabaikannya, mengharap pahala yang besar atas puasanya, inilah ciri-ciri orang mukmin sejati. Berdasarkan hadis ini hamba yang berpuasa berharap kepada Allah agar mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Pahala bagi orang yang mengerjakan puasa pada hadis tersebut di atas menggunakan kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi) yaitu ghufira. Padahal ampunan tuhan bias juga terjadi untuk dosa-dosa yang akan datang. Secara falsafah bahasa menunjukkan bahwa ampunan Tuhan adalah pasti dan nyata, sebagai karunia-Nya yang tidak terbatas atas manusia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni