PWMU.CO — Cara Imam Malik mencuri hati si pencuri dikisahkan pada Ngaji Tafsir Ibnu Katsir, Rabu (20/3/2024) pagi.
Kali ini giliran guru al-Islam Asmaul Husna SPd menyampaikan tausiyah tentang tafsir al-Maidah ayat 105. Asmaul awalnya menceritakan tantangannya memahami kitab tafsir tersebut secara menyeluruh karena semua hadits tercantum di sana. Baik yang dhaif maupun shahih.
Bahkan awalnya ia sempat terkecoh ketika membaca hadits dhaif yang dipaparkan terlebih dahulu. Hadist itu memuat dialog diriwayatkan Abu Isa, dari Abu Umayyah.
“Ia berkata, apa yang kau perbuat dengan ayat ini?” tanyanya.
“Demi Allah, aku pernah menanyakan ke Rasulullah, sebaiknya serulah kepada yang makruf dan cegah yang munkar. Kalau tidak bisa, diam,” jawabnya.
Dalam kitab tafsir yang digenggamnya, kata Asmaul disebutkan, kesabaran saat itu bagaikan tangan memegang bara. Artinya, jika melihat seseorang melakukan kemungkaran kemudian kita sudah menasihati, maka tidak perlu ngotot.
“Biarkan, Allah akan mencatat pahala kita,” ujarnya, lalu melanjutkan, “Ternyata itu dhaif!” Sontak semua jamaah yang awalnya serius menyimak jadi tertawa mendengarnya.
Nahi Mungkar
Asmaul pun lanjut menuturkan hadist shahih yang permulaannya berbunyi, “Ibnu Jarir mengatakan dari Amaliah bin Shalih, aku pernah hadir di halaqah (pertemuan). Mereka bicara perihal amar makruf nahi mungkar.”
Pada akhirnya ia menyimpulkan, “Kalau sudah berusaha mencegah kemungkaran tapi teman kita tidak mau menuruti nasihat kita, ya sudah. Itu di luar kapasitas kita. Kita tidak dapat dosanya. Kita tidak terjerumus ke dosa orang lain. Kecuali kita ikut melakukan kemungkaran itu.”
Kemudian Asmaul lanjut mengisahkan Imam Malik bin Dinar. Seorang hamba Allah yang pernah tertimpa musibah anaknya meninggal dunia, sehingga minum minuman keras.
“Suatu ketika beliau mimpi didatangi anaknya. Ia dikejar ular besar. Putrinya hanya bisa melihat,” terangnya.
Imam Malik lantas bertanya ke putrinya mengapa ia tidak menolong. Anaknya menjawab, “Wahai ayahku, ular yang mengejarmu adalah perlakuan burukmu. Ular itu ingin membunuhmu.”
Kemudian pada suatu hari, ada pencuri yang masuk ke rumahnya. Pencuri itu hanya mendapati lembaran tulisan yang baginya tidak berguna karena pencuri itu tidak tahu kalau sasarannya seorang ulama besar.
Mendapati pencuri itu, Imam Malik berkata, “Wahai saudaraku, apa yang ingin kau cari di rumahku? Aku akan memberi tahu di mana barang berharga.”
Hati Pencuri Tercuri
Si pencuri yang awalnya mau keluar, setelah mendengar ucapan yang teduh itu justru mendekati sang Imam Malik. “Berwudhulah kamu lalu shalat dua rakaat!” perintah Imam Malik.
Setelah shalat, si pencuri tidak langsung keluar. Ia melihat Imam Malik membuka kulkas dan mengambil kurma lalu memakannya. Pencuri tanya apa yang Imam Malik lakukan. “Hari ini aku mau puasa sunnah,” jawab Imam Malik.
Si pencuri bertanya, “Bolehkan aku ikut puasa dan memakan kurma?” Imam Malik membolehkan. Ia bicara dengan lemah lembut dan memberi makan.
Kemudian Imam Malik berangkat ke masjid. Hal ini membuat si pen curi bertanya, “Wahai orang shalih, hendak ke mana lagi engkau setelah ini?”
“Aku hendak pergi ke masjid, jamaah shalat subuh.”
“Wahai orang baik, bolehkah aku ikut ke masjid bersamamu?”
Imam Malik heran sehingga merespon, “Kamu pencuri yang langka, mau mengikuti aku sampai ke masjid.”
Sepulang dari masjid, pencuri bertanya, “Wahai orang saleh bolehkah aku menginap di rumahmu selama tiga hari?”
Imam Malik membolehkan. “Dengan senang hati,” ujarnya.
Sikap dan ucapan Imam Malik berhasil menyentuhnya. “Wahai orang shaleh, terima kasih sudah mengizinkan. Dengan ini, bismillah, aku akan bertaubat. Aku ingin jadi orang baik karena aku suka ilmu yang kau berikan padaku,” balasnya.
Sepulang dari rumah Imam Malik, ia bertemu kolega pencuri. “Kamu sampai tiga hari dapat apa? Pasti banyak sekali harta yang kamu rampas,” tanya si kolega penasaran.
Pencuri mengakui, “Sesungguhnya dia telah mencuri hatiku sebelum aku mencuri barang-barang di rumahnya.”
Hidayah Allah
Dari kisah itu, Asmaul menyimpulkan, pencuri yang awalnya mau menghabiskan harta Imam Malik, tapi dengan perkataan Imam Malik yang halus, pencuri tadi mau menerima.
Asmaul juga menekankan, “Ketika mengutarakan kebaikan untuk orang lain sedangkan orang itu tetap melakukan keburukan, maka tidak harus menasehati dengan perkataan yang diinginkan.”
Ia menjelaskan, “Tidak semua orang yang dapat hidayah mau mendengar pesan itu. Kecuali Allah memberikan hidayah dengan menggerakkan hatinya melalui seseorang yang ucapannya baik maka bisa jadi mengubah perilakunya.”
Di samping itu, kata Asmaul, tidak semua orang dalam kemaksiatan mampu dan mau menerima ucapan kita. Walaupun kita membacakan hadist sekalipun. “Orang bermaksiat sekalipun peka terhadap ucapan yang baik,” imbuhnya.
Ia menegaskan, “Allah memberikan petunjuk kepada yang dia kehendaki. Sesuatu yang kalian pandang buruk pada orang lain belum tentu dipandang buruk oleh Allah. Karena pada dasarnya hidayah datang dari Allah.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni