Pernikahan yang Sesungguhnya; Oleh Dr Encep Saepudin SE MSi, Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah (UM) Purwokerto dan Anggota LPCR PWM Jateng.
PWMU.CO – Sakinah, mawaddah, warahmah menjadi pedoman suami istri dalam mengembangkan layar bahtera keluarga. Pedoman ini untuk mengarungi samudera kehidupan dengan gelombang ganas dan ekstrem yang mampu mendamparkan bahtera pada karang tajam atau menenggelamkan ke dasar lautan.
Ini bermula dari akad pernikahan untuk membentuk keluarga. Dua manusia beda gender, laki-laki dan perempuan, mengikatkan diri dalam akad nikah.
Pasangan beda gender ini merupakan anggota inti dari keluarga. Laki-laki menjadi kepala keluarga. Siapa yang nggak sepakat? He-he-he.
Sebutan untuk laki-laki adalah suami sedangkan sebutan untuk perempuan adalah istri. Anak memanggil bapak untuk yang laki-laki dan ibu untuk yang perempuan.
Sebutan yang belum menikah bagi kedua gender ini sama, yaitu jomblo. Semoga yang belum menikah dimudahkan bertemu pasangannya dan terus melangitkan harapan pasangan pada Allah SWT bukan berharap pada dukun.
Sebutan pasangan ‘suami-istri’ tanpa menikah adalah kebo. Maka, disebut kumpul kebo. Bahasa fikih dan hukum positif adalah zina.
Pernikahan yang sah adalah pernikahan antara laki-laki dengan perempuan. Kalau pernikahan laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan itu terlarang.
Pasangan sejenis ini dikenal sebagai LGBT alias lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Bayangkan, betapa bingungnya anak adopsi saat melihat bapak dan ibunya sama-sama pasangan lelaki atau pasangan perempuan.
Indonesia tidak mengakomodasi pernikahan sejenis ini. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menolak praktik LGBT.
Bagi yang merasa bagian dari LGBT, disarankan berkonsultasi pada psikolog atau psikiater. Sebab, hubungan pernikahannya adalah anomali yang melawan kodrat alam.
Kecuali transgender ditambah dengan cek laboratorium untuk memastikan kondisi genetika yang sebenarnya, sebagai laki-laki atau perempuan.
Kalau sudah nikah berlanjut pada kawin. Perbedaan nikah dan kawin itu adalah nikah diramaikan, sedangkan kawin hanya berduaan. He-he-he.
Angka pernikahan mengalami penurunan yang fluktuatif setara 28,5 persen selama 10 tahun terakhir. Jumlah pengajuan nikah sebanyak 2,21 juta pada 2013 menjadi hanya 1,58 juta pada 2023.
Belum jelas apa yang menyebabkan banyak orang muda belum membuat undangan menikah. Yang dalam aneka motif indah kartu undangannya tetap saja ditemukan kutipan arti firman Allah SWt pada ar-Rum ayat 21.
Artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Menurut Brides.com, masa-masa indah menikah itu pada 6-12 bulan pertama yang disebut dengan honeymoon phase (fase bulan madu). Semua serba indah. Serba sempurna. Serasa dunia milik berdua dan yang lainnya mengontrak.
Saling chat kabar, “Udah makan, belum?”
“I love you!” katanya.
“I love you, too!” jawabnya. Cie, cie, so sweet!
Pernikahan Sesungguhnya
Padahal, pernikahan itu awal membuka tabir wajah dan akhlak pasangan yang sebenarnya. Yang buruk akan ketahuan buruk. Yang baik akan ketahuan baik.
Nah, mulai saat itulah menjadi momentum pasutri menjalankan dan menerapkan doa tamu undangan saat menikah dulu. Sakinah bermakna tenteram. Mawaddah bermakna kasih sayang dan saling memberi. Warahmah bermakna saling menerima kekurangan masing-masing.
Warahmah itu tidak berlaku bila pernikahan beda agama. Nikah beda agama akan menyulitkan pasangan membangun ketakwaan. Selain itu, UU Perkawinan juga belum membolehkan nikah beda agama.
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan pada 17 Juli 2023. Silakan dibaca dan dipahami surat tersebut, ya.
Begitulah alur membangun keluarga. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Cambridge sepakat, “Family is a group of people who are related to each other, such as a mother, a father, and their children.”
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengingatkan prasyarat menuju Indonesia Emas 2024 adalah keluarga berkualitas. Negara yang kuat sangat ditentukan dari keluarga berkualitas. Sebab keluarga adalah tiang negara.
Keluarga yang tidak melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas tidak akan mampu menjaga stabilitas bangsa, melanjutkan estafet kepemimpinan, dan keberlanjutan pembangunan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Furqan ayat 74, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Namun terdapat pula bahtera keluarga terdampar akibat dihantam gelombang samudera kehidupan. Pasutri sepakat berpisah alias cerai.
Terdapat kenaikan angka perceraian sebesar 42,86 persen selama 10 tahun terakhir. Kenaikan dari 324.547 kasus (2013) menjadi 463.654 (2023).
Banyak sebab bahtera keluarga kandas yang tidak diharapkan. Selalu ada hikmah dari sebuah peristiwa.
Alangkah bijak dan baiknya kita senantiasa terus belajar bagaimana membangun keluarga yang baik. Bisa dalam pengajian, seminar, dan pelatihan.
Dan, dalam-dalam lainnya demi sebuah keluarga adem, ayem, dan tenteram yang selalu menjadi harapan kita. Apalagi harapan itu dilangitkan pada saat kita bermunajat pada Sang Pengasih. (*)
Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni