Seandainya Rp 271 Triliun Nilai Korupsi Timah Diurus Muhammadiyah; Oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik berkantor di Surabaya
PWMU.CO – Memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan tahun ini masyarakat dikejutkan terbongkarnya kasus dugaan korupsi tambang timah senilai Rp 271 triliun. Bagi yang tidak pernah punya apalagi pegang pasti bingung dengan nilai sebesar itu.
Masyarakat hanya diberi tayangan infotaimen gaya hidup para terduga pelaku yang serba mewah, punya pasangan artis, dan bergaya selebritis seorang crazy rich. Kemewahan yang di luar nalar seperti menikah di Tokyo Disneyland, membeli jet pribadi untuk anak umur dua tahun, membangun rumah bergaya mansion, dan lain-lain.
Untuk memudahkan literasi keuangan sebesar gaban tersebut bisa dengan konversi pada nilai aset. Amal usaha sebagai aset produktif dunia akhirat yang identik dengan Muhammadiyah bisa digunakan untuk menggambarkan nilai Rp 271 triliun.
Ambil salah satu amal usaha kesehatan rumah sakit premium dengan kisaran nilai Rp 350 miliar seperti RS Sarkies Aisyiyah Kudus. Nilai Rp 271 triliun bisa untuk mendirikan 903 unit rumah sakit premium Muhammadiyah/Aisyiyah. Untuk rumah sakit tipe C dengan kisaran nilai Rp 100 miliar, dana Rp 271 triliun bisa untuk membangun 2.710 unit. Belum rumah sakit tipe D, klinik, sekolah TK-Aisyiyah, SD, SMP, hingga SMA, SMK bisa ribuan yang dibangun dengan nilai korupsi timah Rp 271 triliun.
Demikian gambaran sekilas dana Rp 271 trilyun dalam dugaan korupsi di BUMN PT Timah Tbk. Selain timah sumberdaya alam Indonesia yang juga melimpah adalah nikel menjadi objek debat calon presiden dan wakil presiden terkait isu hilirisasi. Batubara, sawit, hutan, laut dan sumber daya alam lainnya yang melimpah belum bisa mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menjelaskan kerusakan sistem pemerintahan dan dikuasainya berbagai urusan oleh orang-orang yang fasik merupakan sebab kehancuran pilar-pilar umat; di mana beliau mengatakan, ”Suatu negeri akan hancur meskipun makmur.” Lalu ada yang bertanya,” Bagaimana suatu negeri hancur sedangkan dia makmur?” Umar menjawab, ”Jika orang-orang yang penghianat menjadi petinggi dan harta dikuasai oleh orang-orang yang fasik.”
Berharap hasil pemilu 2024 bisa menghadirkan pemimpin-pemimpin yang baik, bukan fasik.
Sebuah ironi jika dikaitkan dengan cita-cita kemerdekaan untuk “Memajukan Kesejahteraan Umum dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” justru disuguhi tontonan korupsi dengan nilai yang tidak umum serta merusak kecerdasan akal sehat.
Agenda Reformasi 1998 untuk mewujudkan tata kelola negara yang bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) telah disepelekan, bahkan dilupakan. Masih hangat dalam ingatan agenda pemilu legislatif dan pilpres yang nyaris sepi dengan visi-misi pemberantasan korupsi.
Sekadar ramai dalam pengungkapan korupsi di pihak oposisi di kementerian komunikasi dan informasi, kementerian pertanian, juga dugaan korupsi formula E yang menyenggol salah satu calon presiden berulang kali dipanggil KPK.
Anehnya kemudian Ketua KPK Firly Bahuri ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi kementerian pertanian. KPK bersama MK, Komisi Yudisial dan sebagainya merupakan anak kandung reformasi yang diharapkan mampu memperbaiki kondisi setelah reformasi. Tapi di tahun politik 2024 ini KPK dan MK justru tersandung pelanggaran etika.
Ke mana masyarakat harus mengadukan masalah korupsi, kolusi dan sebagainya? Haruskah hanya mengadu pada Tuhan saja? Jika semua masalah hanya bisa diadukan pada Tuhan, buat apa ada negara, pemerintahan, kewajiban pajak untuk membayar gaji, remunerasi Presiden, DPR, menteri, polisi, hakim, jaksa, MK, BPK, KPK.
Bahaya laten KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) belum bisa hilang di bumi Indonesia, justru semakin besar dan subur sepertinya. Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang hanya bisa dilakukan orang-orang luar biasa. Untuk membendung KKN juga butuh tekad dan kepedulian luar biasa dari ormas luar biasa sekelas Muhammadiyah. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni