PWMU.CO – Nasyiah harus bisa menyentuh semua kalangan, rasionalisasi dan demistifikasi, memperbanyak sekoci kultural, serta HIDUP (Hadir, Inklusif, Dinamis, Unggul, Populis).
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Malang, Lailatul Fithriyah Azzakiyah MPd, dalam acara Syiar Ramadhan Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur, Jumat (29/03/2024) dengan tema Dakwah Kultural: Ikhtiar Jalan Perdamaian.
Di hadapan ratusan kader Nasyiatul Aisyiyah Se-Jawa Timur ini, Laila menjelaskan bahwa dakwah kultural adalah upaya untuk mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar memeluk dan mengamalkan ajaran Islam, atau mewujudkan ajaran Islam ke dalam kehidupan nyata.
“Yakni membangunan kualitas sumber daya manusia, pengentasan kemiskinan, memerangi keterbelakangan dan kebodohan serta pembebasan, penyebarluasan rahmat Allah, sehingga Islam menjadi rahmatan lil’alamin,” ucapnya.
Laila juga menjelaskan tentang
qawa’idul dakwah ila Allah (prinsip-prinsip dakwah). Menurutnya, ada 10 prinsip dakwah.
Pertama, al-Qudwah qabla dakwah (mendahulukan keteladanan sebelum mengajak). Seorang dai, kata Laila, sebelum lantang menyeru orang lain, ia terlebih dulu harus menyeru dirinya sendiri. “Sebelum nyaring mengingatkan orang lain, terlebih dahulu ia harus mengingatkan dirinya sendiri,” ucapnya.
Kedua, at-Ta’lif qabla ta’rif (mendahulukan menyentuh hati sebelum memberikan pemahaman). Dia mengatakan, objek dakwah (mad’u) adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk dapat bergerak merespon pihak luar.
Ketiga, at-Ta’rif qabla taklif (memberi pengertian/pemahaman sebelum pembebanan). Menurutnya, kesalahan dakwah terbesar adalah membebankan suatu amalan kepada mad’u sebelum diajarkan dengan baik. Baik beban suatu amal yang hukumnya wajib ataupun sunnah. Sebab dakwah itu tegak di atas landasan ilmu dan dalil yang jelas bukan doktrin-doktrin yang membabi buta.
Keempat, at-tadaruj fi taklif (perlahan-lahan dalam memberikan pembebanan). Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, baik dari sudut pandang latar belakang pendidikan maupun kondisi sosial yang melahirkannya.
“Oleh karena itu, dakwah kepada manusia dengan ragam tipologinya tersebut tentu mengonsekuensikan perbedaan dakwah yang dilakukan,” imbuh Pengasuh Yayasan Bait al-Hikmah Malang ini.
Kelima, at-taisir la ta’sir (memudahkan bukan menyulitkan) “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS Al Baqarah: 185)
Keenam, al-Ushul qabla furu’ (mendahukan yg mendasar sebelum cabang). Da’i yang tidak memahami masalah-masalah ushul dan furu’ ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai maslahat, bahkan akan melahirkan kontraproduktif bagi dakwah itu sendiri.
“Hal ini dikarenakan perkara ushul harus didahulukan daripada furu’, sedangkan furu’ akan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar ketika berpijak pada ushul yang baik dan benar pula,” jelas Laila.
Ketujuh, at-Targhib qabla tarhib (memotivasi, bukan mengancam). Menurutnya, seorang da’i harus senantiasa memberikan semangat kepada mad’unya agar dapat beramal.
“Saat mad’u melakukan dosa, ia harus diberi harapan besar bahwa Allah selalu membuka pintu taubat bagi siapa saja. Dengan cara ini dakwah (Insyaa Allah) akan menuai hasil yang diharapkan,” ucapnya.
Kedelapan, At tafhim la talqin (memberi pemahaman, bukan hanya mendikte). “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS Al Israa’: 36).
Kesembilan, at-Tarbiyah la ta’riyah (lebih mendidik, bukan mengekang/menghardik). Menjaga kehormatan adalah termasuk tujuan syari’at Islam. Oleh karena itu, dakwah harus berupaya memberikan didikan yang baik kepada mad’unya.
Kesepuluh, Tilmizu ustadzin la tilmizul kitab (tidak hanya mempelajari buku, tapi juga mempunyai guru).
“Sebuah pepatah mengatakan, Guru tanpa buku akan melahirkan kejumudan. Sedangkan buku tanpa guru akan melahirkan kesesatan,” ujar alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Menurutnya, peran nasyiah sebagai perempuan suluh perdamaian harus menjadi gerakan nyata dan sepuluh prinsip tersebut dapat diterapkan melalui dakwah kultural sebagai ikhtiar mewujudkan perdamaian. (*)
Penulis Nur Aini Azizah Editor Nely Izzatul