Ramadhan Mengajarkan Disiplin dan Solidaritas; Oleh Ahmad Zainul Arifin, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Bojonegor
PWMU.CO – Separuh bulan lebih kita telah menjalani ibadah Ramadhan 1445. Jika kita renungkan, terdapat sejumlah nilai kebajikan yang dapat dipetik dari ibadah di bulan Ramadhan. Pertama soal pentingnya waktu.
Kesunahan mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan berbuka mengandung maksud untuk memperhatikan waktu. Memperhatikan waktu saat imsyak, Subuh, dan Maghrib, mengajarkan dan melatih kedisiplinan.
Lebih jauh agar manusia memperhatikan waktu sehari semalam supaya melakukan aktivitas positif yang bermanfaat bagi diri sendiri dan mendatangkan manfaat bagi sesama. Memperhatikan waktu sepanjang hidup untuk menumpuk amal shaleh yang dapat dijadikan bekal untuk hidup dialam akhirat kelak.
Waktu merupakan nikmat dari Allah SWT kepada manusia untuk diatur sebaik-baiknya, tetapi kebanyakan manusia telah melalaikannya, sebagaimana di tengarai Rasulullah SAW ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh manusia yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan.
Betapa Islam memandang penting waktu, sampai-sampai Allah SWT bersumpah dengan menggunakan waktu, seperti Dhuha, Asar, dan malam (lalil). Itu supaya manusia tidak menyia-nyiakan waktu sehingga mendatangkan penyesalan di akhir hidupnya.
Tidak cukup sampai di situ, Rasulullah SAW juga mengajarkan melalui hadits dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al-Hakim, agar kita menjaga waktu muda sebelum datangnya tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum fakir, luang sebelum sibuk, dan hidup sebelum mati.
Kemampuan mengatur waktu akan melahirkan kedisiplinan. Kebisaan berperilaku disiplin akan mengantarkan manusia pada keberhasilan. Dan kedisiplinan merupakan ciri profesionalitas.
Hikmah Tarawih
Kedua, kebajikan yang dapat kit apetik dari ibadah di bulan Ramadhan ialah tentang pentingnya berjamaah.
Tarawih, shalat sunah yang hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadhan misalnya mampu menciptakan dinamika sosial dalam masyarakat melalui interaksi jamaah saling tukar informasi dan berbagi pengalaman.
Seseorang yang dalam kesehariannya mengerjakan shalat malam atau tahajud secara munfarid(sendirian), pada bulan Ramadhan menunaikannya secara berjamaah. Yang semula lebih sering melaksanakan shalat di rumah, pada bulan Ramadhan mengupayakan melaksanakan shalat di mushala atau masjid.
Hal ini dapat memperkuat solidaritas dan persatuan di antara umat Islam dan memunculkan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Dari sini dapat dipahami bahwa pelaksanaan shalat tarawih menunjukkan identitas keagamaan, komitmen, dan keyakinan seseorang terhadap ajaran Islam.
Sementara ketaatan seseorang dalam beragama akan memberi dampak positif terhadap kehidupan suatu masyarakat. Demikian juga ketenangan batiniah yang diperoleh dari shalat tarawih secara berjamaah akan berpengaruh juga terhadap pola kehidupan mereka dalam hidup bermasyarakat.
Dalam bahasa Prof Dr Nur Syam MSi, Guru Besar UINSA Surabaya, bulan puasa menjadi medium untuk menegaskan identitas kesantrian kita dengan cara-cara yang lebih beragama atau makin religius. Jika sebelumnya mungkin kita lebih banyak beribadah secara individual, maka dengan hadirnya bulan puasa, kita menjadi beribadah secara berjamaah. Tarawih berjamaah, shalat wajib berjamaah, dan indikasi lain yang memperteguh kesantrian tersebut.
Lebih lanjut dikatakan ekspresi keagamaan ini semakin mempertegas batas antara “santri” dan “bukan santri” atau juga batas antara penganut Islam taat dengan yang kurang taat, dan juga batas antar pemeluk agama. Sesungguhnya puasa bisa menjadi instrumen yang secara sosiologis dapat dinyatakan semakin mempertegas identitas sosial di antara umat manusia.
Meskipun demikian, yang tidak kalah penting adalah merajut kebersamaan di dalam praktik menjalani kehidupan. Jangan sampai perbedaan yang mempertegas batas identitas tersebut justru menyebabkan terkoyaknya kesatuan dan persatuan umat dan bangsa.
Kita harus tetap menjaga kebersamaan itu kapan dan di mana saja. Kebersamaan yang dibangun dari semangat keberagamaan yang tinggi diharapkan dapat memberi pengaruh positif terhadap perilaku setiap individu dalam menjalani kehidupan sosialnya.
Begitulah puasa, mendidik manusia untuk melakukan penelaahan mengapa diperintahkan dan manfaat apa yang diperoleh untuk menghadirkan pemahaman terhadap nilai yang terkandung di dalamnya.
Tentu hal ini akan menguatkan keyakinan dan menambah semangat dalam menjalankannya, seperti disebutkan pada penghujung ayat 184 al-Baqarah yang terjemahnya, “Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasa itu lebih baik bagimu jika kemu mengetahui.” Wallahu a’lam bishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni