PWMU.CO – MTT PWM Jatim bahas metode di Manhaj Tarjih pada rapat internal, Sabtu (6/4/2024). Selain itu, ada sosialisasi hasil Munas Tarjih Ke-32 tahun 2024.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Achmad Zuhdi MPhilI memimpin rapat tersebut di Kantor PWM Jatim. Zuhdi mendorong agar setiap divisi menjalankan program kerja (proker) yang sudah ditetapkan bersama sepanjang tahun 2024.
“Paling tidak, MTT PWM Jatim mengadakan empat program penting sesuai masalah keagamaan masyarakat muslim dan gerak fokus proker divisi MTT PWM Jatim,” tutur Zuhdi.
Kemudian, Sekretaris MTT PWM Jatim Dr Dian Berkah MHI menyatakan ada reposisi personel MTT PWM Jatim di tahun 2024. Hal ini menurutnya sebagai bagian evaluasi dan fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) bagi personel di MTT PWM Jatim. “Untuk terus aktif dan berkontribusi pemikirannya,” imbuhnya.
Beberapa personel yang reposisi di antaranya Syahroni Nur Wachid W AMa menjadi Wakil Sekretaris MTT PWM Jatim. “Dikky Syadqomullah MHES di Divisi Kaderisasi dan Publikasi, diharapkan memudahkan MTT Jatim karena juga sebagai Ketua Dikdasmen PDM Surabaya dan pernah menjadi ketua PWPM Jatim,” ujarnya.
Selanjutnya, ada penyampaian materi pengembangan manhaj tarjih oleh Wakil Ketua PWM Jatim Dr Syamsudin. Ia menjelaskan, “Tarjih ini istilah yang berasal dari disiplin ilmu Usul Fikih, yaitu melakukan penilaian terhadap dalil-dalil syar‘i yang secara lahir tampak saling bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat.”
Makna tarjih kemudian meluas. “Yaitu evaluasi terhadap berbagai pendapat fiqih yang sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah,” lanjutnya.
Akhirnya, makna tarjih bergeser dari makna asli dalam disiplin ilmu Usul Fikih menjadi setara dengan makna ijtihad itu sendiri. “Yaitu aktivitas intelektual untuk merespon permasalahan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Dalam konteks ini, tarjih menjadi sistem yang memuat seperangkat komponen,” terangnya.
Lima komponen yang Syamsudin maksud terdiri dari wawasan, semangat, atau perspektif; sumber, pendekatan, metode (prosedur teknis), dan wasathiah. “Inilah yang disebut dengan manhaj/metodologi tarjih,” jelasnya.
Metode Ijtihad
Dia menjelaskan, metode ijtihad yang terdapat dalam manhaj tarjih menggunakan asumsi integralistik dan asumsi hirarkis. “Asumsi integralistik ialah mengumpulkan seluruh dalil yang saling terhubung. Sementara asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas.
Syamsudin pun menjelaskan, apabila lapisan norma tersebut dilihat dari atas ke bawah, maka lapisan norma pertama ialah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah). “Nilai dasar ini adalah norma-norma abstrak yang diserap dari semangat al-Quran dan as-Sunah dan merupakan nilai yang paling esensial dalam ajaran Islam seperti nilai tauhid, kemaslahatan, persamaan, toleransi, akhlak mulia, dan lain-lain,” paparnya.
Syamsudin melanjutkan, lapisan kedua ialah asas-asas umum (al-ushul al-kulliyah). Asas umum merupakan konkretisasi dari nilai dasar dan abstraksi dari lapisan norma di bawahnya.
“Peran asas-asas umum ini juga sebagai jembatan yang menghubungkan nilai dasar dan ketentuan praktis. Asas ini ada yang sudah diformulasi dalam rumusan yuristik dan dinamakan kaidah fikih dan ada yang tidak dirumuskan dan disebut an-nazariyyat al-fiqhiyyah (asas-asas hukum Islam),” terangnya.
Lapisan paling bawah, ketiga, ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). “Pada lapisan terakhir ini langsung mengualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i seperti menentukan hukum taklifi (halal-haram) dan wad’i (syarat-sebab),” ungkapnya.
Ia mencontohkan, dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 04/Edr/I.0/E/2020 Tentang Tuntunan Salat Idul fitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19, Majelis Tarjih menggunakan struktur norma di atas. Adapun dalam Surat Edaran yang dikeluarkan pada tahun 2020 sebagai respon terhadap bencana pandemi tersebut, Majelis Tarjih menggunakan nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) kemaslahatan.
“Tujuan agama adalah untuk memberikan rahmat kepada manusia, yang dalam filosofi fikih disebut perwujudan kemaslahatan (tahqiq al-mashalih). Ini didasarkan kepada firman Allah: Tiadalah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,” ujarnya menukil al-Anbiya ayat 107.
Nilai Dasar Kemaslahatan
Syamsudin melanjutkan, nilai dasar kemaslahatan ini menurunkan lima asas (al-ushul al-kulliyah). Pertama, kemudahan (al-taisir). Asas ini ditegaskan baik dalam al-Quran, sunnah Nabi Saw maupun dalam rumusan-rumusan kaidah fikih..
Misalnya dalam al-Baqarah ayat 185. “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran,” ungkap Syamsudin.
Kedua, sesuai kemampuan (‘ala hasbi qudrah), yakni bertakwa kepada Allah menurut kesanggupan. Syamsudin pun menyebutkan hadist: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: dan jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakanlah sejauh kemampuanmu. (Hadis muttafaq ‘alaih)”
دَعُونِي ما تَرَكْتُكُمْ، إنَّما هَلَكَ مَن كانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ علَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عن شيءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وإذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا منه ما اسْتَطَعْتُمْ.
Kemudian ia mengutip firman Allah dalam al-Baqarah 286, “Ia tidak membebani hamba-Nya, kecuali sejauh kadar kemampuannya.”
Ketiga, tidak menimbulkan mudarat (‘adam al-dharar). “Umat Islam mesti berusaha menghindarkan jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan Allah dalam al-Baqarah ayat 195 dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi Saw,” tegasnya.
Keempat, sesuai tuntunan (muwafaqat al-sunnah al-nabawiyah). Kelima, asas prioritas.
Di kitab-kitab usul fikih, lanjut Syamsudin, belum ada bahasan soal asumsi hirarkis ini. Karena itulah menurutnya perlu pengajian ketika ingin menentukan hukum dan memilih nilai dasarnya apa, prinsip umumnya apa, dan ketentuan hukum detailnya bagaimana.
“Majelis Tarjih menggunakan asumsi hirarkis ini sebagai bangunan fikih. Karenanya, beberapa peneliti menilai, fikih dalam perspektif tarjih merupakan himpunan dari nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), asas-asas umum (al-ushul al-kulliyah) dan juga ketentuan-ketentuan hukum (al-ahkam al-far’iyyah), atau norma-norma konkret atau fatwa keagamaan,” jelasnya.
Syamsudin mengungkap, asumsi hirarkis ini telah banyak diterapkan dalam merespon persoalan-persoalan kekinian dan telah menghasilkan putusan. Seperti Fikih Tata Kelola, Fikih Air, Fikih Lalu Lintas, Fikih Perlindungan Anak, Fikih Informasi dan lain-lain.
Dari nilai dasar dan asas-asas umum itu, lanjut Syamsudin, kemudian lahir norma-norma konkret atau fatwa keagamaan seperti shalat id di lapangan sepanjang masa pandemi ditiadakan, tidak melaksanakan salat tarawih di masjid, salat Jumat di masjid juga diganti dengan empat rakaat salat Dhuhur yang dikerjakan di rumah masing-masing, dan lain-lain.
“Inilah struktur norma yang digunakan Majelis Tarjih ketika mengeluarkan fatwa tentang pelaksanaan ibadah di masa darurat pandemi,” tutupnya. (*)
Penulis Syahroni Nur Wachid Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni