PWMU.CO – Amicus Curiae ngetren di babak akhir sengketa hasil Pilpres 2024. Sejumlah tokoh—seperti Megawati dan Din Syamsuddin—mengajukan diri menjadi amicus curiae. Lalu banyak orang yang bertanya-tanya dan ingin tahu, apa sebenarnya amicus curiae ini?
Secara kebahasaan, amicus curiae dapat diartikan sebagai sahabat pengadilan. Amicus curiae bukanlah tradisi hukum di Indonesia, melainkan bagian tradisi hukum Romawi yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum common law. Di mana hukum itu dimaknai sebagai hukum yang hidup di masyarakat, sehingga masyarakat itu dianggap paham terhadap hukum.
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Sumali SH MHu. menjelaskan secara kelembagaan atau sistem hukum, amicus curiae ini diartikan sebagai orang atau sekelompok orang yang memiliki kepedulian pada suatu perkara hukum tetapi dia bukan menjadi pihak dalam perkara tersebut.
“Amicus curaie ini memberikan opini kepada pengadilan atau hakim tentang bagaimana sebaiknya suatu perkara itu diputus atau diselesaikan,” ucapnya, seperti dikutip Selasa (23/4/2024).
Amicus curiae dalam pengajuannya ini tidak harus oleh advokat. Bisa juga diajukan oleh orang dengan pengetahuan atas suatu perkara, yang keterangannya berharga bagi pengadilan. Keterangan dari amicus curiae ini dapat berupa tulisan maupun secara lisan dalam persidangan.
Tugas dari amicus curiae hanya sekadar memberikan pandangan dan opini, bukan melawan argumen dari pihak-pihak yang berperkara. Pandangan atau keterangannya nanti akan menjadi salah satu alat bukti di luar pengadilan, untuk hakim mempertimbangkan putusan dalam suatu perkara.
“Walaupun amicus curiae tidak dikenal dalam aturan hukum Indonesia, selagi ada manfaatnya praktIk ini tetap bisa dilanjutkan,” pungkas Sumali.
Pada sengketa pilpres, amicus curiae boleh diajukan pada saat persidangan. Dalam hukum acara, pengadilan bisa berinisiatif memanggil pihak-pihak yang bisa atau punya kapasitas untuk menjelaskan suatu persoalan.
Keterangan dari amicus curiae ini sifatnya hanya untuk menambah keyakinan hakim dan nilainya tidak mengikat. Pun, tidak ada yang dapat menguji kebenarannya. Jika ini dijadikan dasar pembuktian, maka pembuktiannya menjadi cacat. Sehingga, tetap harus menggunakan bukti dalam pengadilan sebab akan selalu diuji kebenarannya.
“Hanya hakim yang memiliki hak untuk bertanya pada Sahabat Pengadilan, tidak boleh pihak lain. Berbeda dengan pendapat dalam pengadilan, akan di uji oleh berbagai pihak,” jelasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni