PWMU.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang telah diajukan oleh pasangan calon presiden nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Hal tersebut disampaikan dalam sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, (22/4/2024). Hasil dari putusan tersebut juga telah diunggah di situs resmi Mahkamah Konstitusi.
Menanggapi perselisihan pilpres tersebut, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH menyampaikan tiga catatan atas keputusan yang telah diresmikan MK.
“Berdasarkan pembacaan putusan MK kemarin, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dan dijadikan pelajaran untuk bangsa ini dalam berdemokrasi,” tuturnya, Selasa (23/4/2024).
Kedudukan PHPU
Catatan pertama, bahwa MK melalui putusannya, telah menegaskan kedudukan perselisihan hasil pemilihan U
Umum (PHPU) dalam skema penegakan hukum pemilu. PHPU merupakan tempat bagi para kontestan pemilu untuk mempersoalkan hasil Pemilu, bukan persoalan tentang proses pemilu. MK memberi penegasan bahwa proses PHPU adalah bagian dan merupakan rangkaian dari sistem penyelesain sengketa pemilu yang fokus pada hasil pemilu.
“Adapun sengketa terkait proses pemilu, termasuk terkait kecurangan yang dituduhkan oleh pemohon, harusnya diselesaikan pada ruang penegakan hukum oleh Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu),” ucap Kepala Lembaga Kantor Badan Hukum (LKBH) Umsida itu.
Sikap MK tersebut, sambungnya, merupakan bentuk konsistensi MK dengan putusannya pada perkara PHPU tahun 2019. Saat itu MK menolak penggunaan sengketa proses yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagai objek PHPU.
Tidak Ada Bukti yang Meyakinkan
Kedua, Rifqi menjelaskan dalam pertimbangan Mahkamah, dapat dilihat bahwa pemohon dipandang gagal memberikan satu argumentasi yang memadai dalam membuktikan dalil yang diajukan di peradilan.
Hal itu juga menegaskan positioning MK dalam penanganan gugatan ini. Bahwa MK sejatinya masih mempertimbangkan kemungkinan untuk mengabulkan permohonan pemohon jika dapat membuktikan secara meyakinkan dalil yang diajukan.
Ia melanjutkan, “Masalahnya, sebagian besar argumentasi yang diajukan pemohon tidak berdasarkan atas hukum. Artinya tidak cukup memiliki causa verband dengan objek perkara yang seharusnya terkait dengan hasil pemilu.”
Dissenting Opinion
Ketiga dosen Fakultas Hukum Umsida ini mengatakan hal cukup kontroversial, yaitu putusan MK ini mengandung adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat hakim dengan hakim yang lain) oleh tiga orang hakim dari delapan hakim yang memutus perkara ini, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Menurut Rifqi, dissenting opinion yang diajukan oleh tiga hakim tersebut menggaransi hadirnya proses berhukum yang independen dan imparsial di dalam diri Mahkamah. Hadirnya dissenting opinion oleh tiga hakim tersebut menegaskan adanya perspektif hukum yang berbeda dan dinamis dalam proses pembentukan putusan di MK.
“Kondisi ini (adanya dissenting opinion) memperlihatkan adanya konsistensi sikap dan positioning beberapa hakim dalam proses kontestasi pilpres. Sikap ketiga hakim tersebut adalah bentuk konsistensi mereka atas pandangan dan sikap hukum mereka pada perkara PUU No 90 Tahun 2023 lalu,” ujarnya. (*)
Penulis Romadhona S. Editor Mohammad Nurfatoni