PWMU.CO – Tiga model kepemimpinan kepala sekolah Muhammadiyah disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd dalam pembukaan Pendidikan Khusus Kepala Sekolah (Diksuspala) Region I di kompleks SMP Muhammadiyah Ahmad Dahlan Kota Metro, Lampung Kamis (25/4/2024).
Diksuspala Region I diikuti oleh kepala sekolah SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK Muhammadiyah dari lima propinsi: Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung.
Dengan gaya khasnya, Mu’ti menyampaikan materi dengan sangat inspiratif dan mind blowing (mencengankan). Di antaranya dia menyampaikan tentang tiga macam kepemimpinan kepala sekolah di Muhammadiyah.
Pertama, pemimpin pecundang yaitu pemimpin yang diamanahi menjadi kepala sekolah tapi malah membuat sekolah Muhammadiyah itu turun kualitasnya. Dan tidak jarang menjadi trouble maker.
Kedua, pemimpin pemimpi yaitu kepala sekolah yang memiliki ide yang banyak, pemikiran yang bagus, namun tidak ada aksi nyata dan tidak bisa mencari solusi atas permasalahan terhadap idenya.
Ketiga, pemimpin pesulap yaitu pemimpin yang dapat mengubah sekolah Muhammadiyah jadi lebih baik. Terobosan yang dilakukan segera terwujud sesuai rencana strategis yang sudah dipedomani. Bersama tim mampu menjadikan sekolah Muhammadiyah from good to great.
Guru Besar UIN Jakarta yang humoris itu mengatakan posisi kepala sekolah itu penting, karena perkembangan sekolah bergantung pada kepala sekolah. Mereka harus mampu memaksimalkan semua kompetensi yang dimiliki warga sekolah. Jika kepala sekolah tidak punya inovasi maka inovasi dari guru karyawan harus dimunculkan.
Kepala sekolah juga perlu menjalin kerja sama dengan siapa saja yang mampu memberi dampak baik apapun. Karena dengan begitu sekolah mempunyai daya tarik yang lain.
Tiga Modal Sekolah Muhammadiyah
Di bagian lain Mu’ti menjelaskan sistem pendidikan Muhammadiyah dalam tiga perspektif, yakni sejarah, filosofis, dan sosial politik.
Dalam perspektif sejarah, pendidikan Muhammadiyah harus melahirkan kader-kader yang memiliki kompetensi, militansi, dan komitmen untuk memajukan Persyarikatan serta memajukan bangsa dan negara.
Perspektif filosofis yakni dalam konstruksi filosofis pendidikan yang sesuai dengan cita-cita KH Ahmad Dahlan. “Beliau ingin melahirkan Muslim yang intelek dan intelek yang Muslim. Maka pesan beliau adalah, ‘Dadio kiai sing kemajon lan ojo kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah’.” Kala diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, ”Jadilah kiai, ulama, atau cendekiawan Muslim yang berkemajuan dan jangan lelah bekerja dan beramal untuk Muhammadiyah.”
Dalam perspektif sosial politik, lanjutnya, adalah menjaga nama baik Muhammadiyah. Ketika ada sekolah Muhammadiyah pasti orang menganggap sekolah itu bagus. Oleh karena modal sosial politik ini harus dimanfaatkan oleh para kepala sekolah Muhammadiyah sebagai kekuatan sekolah dan modal untuk sukses.
Menurut Mu’ti, jika semua memiliki kesadaran yang tinggi maka sekolah yang masih belum baik atau ‘sakit’ akan segera bangkit karena sekolah Muhammadiyah sudah punya tiga modal tersebut. (*)
Penulis Wigatiningsih Editor Mohammad Nurfatoni