PWMU.CO – Dosen UMM sukses meraih penghargaan sebagai artikel terbaik dalam ajang 1st Sharia Writing Competition 2024 di Palangkaraya pada awal Mei 2024. Dia menulis tentang perlunya Hakim MK dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dosen UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) itu ialah Sholahuddin Al Fatih SH MH. “Alhamdulillah, tentu saya senang dengan penghargaan ini. Capaian ini sekaligus bukti bahwa tidak hanya mahasiswa dan tendik UMM saja yang berprestasi, tapi juga para dosennya yang juga harus ikut berprestasi. Kan guru itu digugu lan ditiru, semoga menjadi inspirasi bagi seluruh sivitas akademika yang ada,” ujarnya, Rabu (15/5/2024).
Fatih menulis tentang pemilihan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) secara langsung oleh rakyat karena melihat model pemilihan hakim MK sekarang kurang akuntabel dan transparan. Model sembilan hakim yang dianut Indonesia meniru Korean Representatives. Masing-masing lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memilih tiga hakim. Hal itu juga membuka kemungkinan akan adanya peluang conflict of interest.
“Kan kemarin ada mantan legislator yang jadi Hakim MK. Ada pula Hakim MK yang tersandung kasus, mulai etik hingga pidana. Nah kita mau coba gagas pemilu secara langsung. Memang minusnya adalah berbiaya tinggi, tapi bisa menjadi legitimasi rakyat bahwa memang Hakim MK yang terpilih itu benar-benar dipilih dan didukung oleh rakyat,” tambahnya.
Dia menjelaskan, pemilu langsung Hakim MK tersebut modelnya seperti pemilihan umum, dengan melibatkan rakyat sebagai pemilik suara. Hal itu sesuai dengan slogan demokrasi, ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’.
Fatih berharap agar ide tersebut bisa menjadi topik diskusi dan kembali diteliti oleh akademisi yang lain, sehingga bisa menjadi masukan untuk perbaikan kelembagaan MK ke depan.
Dosen Fakultas Hukum itu menjelaskan cara ini memang tidak menjamin akan mendapatkan sumber daya manusia terbaik. Namun hal ini membuat pemilihan hakim MK lebih transparan dan akuntabel sehingga masyarakat bisa tahu dan tidak berprasangka buruk.
“Sebenarnya, pemilihan langsung hakim MK ini sudah dipakai di beberapa negara bagian di Amerika dan tidak dipilih dari lembaga lain. Jadi lebih transparan dan tidak menimbulkan banyak prasangka,” katanya.
Fatih menjelaskan selain berbiaya mahal, model ini juga memungkinkan munculnya sengketa. Apalagi memang pemilu identik dengan sengketa. Meski begitu, sudah ada lembaga yang memiliki tugas memeriksa dan memantau kinerja hakim, yakni komisi yudisial (KY). Di samping itu, ide ini juga dirasa belum bisa dijalankan karena tidak adanya aturan yang mengatur. Bisa juga melalui peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan MK.
“Memang belum ada atruan yang mengakomodasi model ini. Tapi undang-undang MK bisa diamandemen dan diatur lebih lanjut. Sebenarnya ada potensi dalam pasal bahwa ‘pemilihan MK diatur secara demokratis, akuntabel dan transparan’. Sayangnya, pemahaman kita selama ini hakim MK hanya dipilih oleh lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Padahal frasa itu juga bisa dipahami dengan menggunakan model pemilihan umum,” katanya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni