Pesantren Muhammadiyah dan Tantangan Perubahan Iklim Pendidikan; Oleh Jusrihamulyono A. HM, Trainer Pusdiklat Pengambangan Sumber Daya Manusia (SDM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
PWMU.CO – Kata pondok di mata masyarakat modern kini berubah tinggal kata pesantren. Kata pondok seiring waktu mengalami stigmatisasi negatif di tengah arus globalisasi, sehingga masyarakat kini tidak meyakini bahwa pondok menjadi solusi.
Pondok tidak sebatas hanya tempat penampungan anak yang kurang mampu untuk belajar agama.
Pada akhirnya kata pondok terhapus dan tidak lagi bergandengan dengan kata pesantren. Hal ini terjadi akibat kata pesantren dinilai sejalan dengan zaman serta kebutuhan sumber daya manusia.
Pondok dalam pandangan masyarakat sebatas pembelajaran dengan kurikulum klasik. Lain halnya pesantren apalagi dibumbui kata modern, tentu semakin menaikkan level secara sosial di tengah masyarakat. Sehingga realitas yang terjadi, anak yang dimasukkan ke ‘pesantren modern’ seakan-akan menjadi anak yang beruntung bahkan mampu menaikkan nama keluarga di tengah masyarakat.
Dari kasuistik di atas, pendidikan ala Muhammadiyah mencoba sedikit demi sedikit menjadikan sebagai peluang dalam mencetak generasi yang berlabel kan ‘santri berkemajuan’.
Identitas ini sebagai bentuk aktualisasi slogan Muhammadiyah Berkemajuan. Artinya simbol ini tersebut upaya melaraskan tujuan Muhammadiyah dalam berdakwah. Era bisa berubah namun nilai-nilai Islam dalam berkehidupan tidak boleh berubah.
Melalui kegiatan Pelatihan Manajemen Perubahan bagi Mudir Pesantren Muhammadiyah Se-Indonesia” yang diselenggarakan di Pusdiklat Pengembangan SDM Universitas Muhammadiyah Malang, (14 -16 Mei 2024). Kegiatan ini diharapkan sebagai bentuk tanggung jawab Muhammadiyah dalam mencetak generasi dengan moralitas peradaban yang berkemajuan. Kegiatan ini diikuti para mudir yang memperjuangkan nasib santri hingga SDM pesantren Muhammadiyah se-Indonesia.
Kompetitor Pesantren
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam namun tidak banyak memiliki pendidikan bermodelkan pesantren. Sehingga untuk bersaing dengan pesantren yang lainnya cukup berat bila dipandang dari segi keterbatasan turos, kitab klasik, hingga kualitas kiai maupun musyrif yang menjadi sasaran kemampuan dalam bidang agama. Karena diketahui banyak di antara pengelolaan pesantren tidak melibatkan alumninya. Hal tidak salah juga sebab kesadaran para alumni masih minim untuk mengabdi.
Ciri khas yang menjadi unggulan pesantren Muhammadiyah masih dipertanyakan. Seperti nilai, program unggulan, dan kurikulum yang dibawa belum konsisten di tiap pesantren Muhammadiyah. Perihal ini belum cukup untuk menyaingi pesantren di luar Muhammadiyah. Pembebanan ini mulai di garap oleh Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Muhammadiyah untuk menjawab isu perubahan iklim pesantren.
Masih sedikit sejarah yang ditorehkan dari pesantren Muhammadiyah dari segi kompetisi secara lokal, nasional, maupun internasional. Lirikan masyarakat terhadap pesantren Muhammadiyah masih menjadi problematika yang menganggap Muhammadiyah aliran serba anti. Pemicu ini menambah tugas tambahan pesantren Muhammadiyah dalam bersaing mencari santri atau peserta didik.
Ada yang spesial akan berdirinya pesantren Muhammadiyah, seyogyanya jika masih kurang dalam kurikulum, namun mampu bersaing secara fasilitas. Faktanya, identitas yang mewah masih di menangkan oleh pesantren Muhammadiyah di mata masyarakat. Dari segi infrastruktur sudah mampu membangun gedung modern dan mulai diadopsi oleh pesantren klasik lainnya. Keunggulan ini harus di support agar meningkat untuk mendapatkan slogan kepercayaan dari masyarakat sekitarnya.
Mewaspadai Tantangan
Pesantren Muhammadiyah masih dalam ranah pembangunan sehingga peminat orang tua yang ingin memasukkan anaknya masih dalam keadaan keraguan. Adapun sebab pertama, kurangnya kepercayaan akan pendidikan pesantren Muhammadiyah akibat dari tidak adanya corak khas yang ditawarkan. Sebab kedua, Kader Muhammadiyah masih kurang peka dalam pengabdian di rumah sendiri. Sebab ketiga, kolaborasi kurikulum klasik dan modern masih kurang efektif.
Sektor persoalan di atas, menjadi alarm para mudir untuk menjaga eksistensi pesantren Muhammadiyah untuk terus mencerdaskan generasi bangsa. Sudah diketahui secara umum bahwa pesantren Muhammadiyah tidak dibangun atas nama orang melainkan atas nama gerakan Muhammadiyah. Menjaga nama baik pesantren Muhammadiyah sebanding menjaga nama baik Persyarikatan. Inilah alasannya kolaborasi lembaga dan majelis penting untuk saling berkomunikasi semua suplai gerakan pencerahan.
Beberapa tantangan yang dapat dicatat akan perubahan iklim pendidikan. Pertama, perubahan pola pikir kembang anak yang disusupi ketergantungan kecanggihan teknologi. Keadaan ini menjadi pertanyaan apakah penggunaan teknologi dibatasi atau difasilitasi.
Kedua, kebutuhan keahlian santri. Memasuki era globalisasi tentunya skill sosial atau era Society 5.0 perlu disisipkan. Leadership dan communication skill menjadi kurikulum yang berpotensi besar untuk diterapkan.
Tantangan ketiga, soal substansi uang pangkal pendidikan. Akhir-akhir ini uang pangkal problematika berkurangnya jumlah santri yang mendaftar. Dilemanya antara menaikkan uang pangkal atau gaji para ustadz, musyrif, hingga mudir yang harus dipangkas.
Tantangan keempat, regulasi dan sanksi untuk kedisiplinan santri. Sorotan akan tidak sejalannya antara pelanggaran dan hukuman sering menjadi sorotan negatif. Pasalnya, hukuman yang bijaksana untuk generasi z masih jadi diskursus. Pada kesimpulannya, perwujudan pesantren Muhammadiyah masih dalam tahap membangun fondasi yang diharapkan fondasi yang kuat ini mampu menopang SDM yang berjuang menuju pendidikan berkemajuan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni