Gagalnya Pengentasan Kemiskinan oleh Faruq Ahmad Futaqi, Direktur Bankziska Ponorogo.
PWMU.CO – Sesi terakhir dalam Raker Bankziska, Ahad (19/5/2024) pagi menghadirkan Dr Imron Mawardi, ekonom Islam Unair yang pernah menjabat Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Jatim.
Beberapa poin sempat saya catat yang mungkin dapat menjadi renungan kita bersama.
Katanya begini: Potensi zakat di Indonesia sekitar ratusan triliun, realisasinya sekitar 20 triliun.
Menariknya hanya 6 persen masyarakat Indonesia yang mau membayar zakatnya melalui LAZ (Lembaga Amil Zakat) atau BAZ (Badan Amil Zakat).
Artinya ada 96 persen masyarakat muslim Indonesia lebih memilih menyalurkan ZIS tidak melalui LAZ atau BAZ.
Lalu, apa kiat menggeser 96 persen warga muslim untuk menyalurkan ZIS melalui LAZ/BAZ.
Menurutnya, trust adalah kata kunci utama. Sayangnya, trust LAZ dan BAZ di Indonesia tidak stabil, naik turun. Apalagi setelah tragedi yang melanda ACT.
Jika kita bicara tentang konsep pengentasan kemiskinan, jumlah orang miskin di Indonesia sekitar 25 juta. Garis kemiskinannya 530 ribu. Artinya, pengeluaran bulanan masyarakat miskin 530 ribu rupiah per bulan, sekitar 6 jutaan setahun.
Jika dihitung dana potensi zakat 80-120 triliun seharusnya sudah mengatasi kemiskinan di Indonesia. Sudah hilang, sudah selesai.
Nyatanya, sekitar 400 triliun anggaran negara digunakan untuk memberantas kemiskinan, tapi kenapa kemiskinan masih terus terjadi dan tak selesai?
Gagalnya pengentasan kemiskinan ini selayaknya dikaji serius.
Salah satu hal yang harus dilakukan dalam mengentaskan kemiskinan adalah pemberdayaan. Sebagaimana Bankziska. Namun di antara kelemahan program pemberdayaan adalah tidak konsen membangun literasi dan edukasi tentang pengelolaan keuangan pada kaum miskin, usaha mikro kecil.
Poin ini yang sering dilupakan oleh para pemberdaya sehingga kemiskinan terus menerus kembali. Hasil penelitian di daerah pesisir pantai pada bulan tertentu masyarakat menjadi kaya mendadak karena panen ikan raya.
Semua bisa dibeli, sales apapun masuk. Ibaratnya tidak punya listrikpun beli kulkas, saking pendapatannya tinggi.
Tapi di bulan tertentu mereka jatuh miskin babak belur. Semuanya dijual karena tak ada penghasilan. Tidak bisa melaut. Sirkulasinya terus menerus seperti itu.
Selanjutnya, program pemberdayaan membutuhkan biaya yang besar. Utamanya biaya operasional. Karena konsep pemberdayaan bukan giving yang sekali selesai. Ada proses panjang pendampingan yang memerlukan biaya tidak kecil.
Hasil kajian yang dilakukan, beberapa konsep pemberdayaan gagal karena tidak mencukupinya biaya operasional.
Solusinya, Imron Mawardi menceritakan tentang LAZ Nurul Hayat (NH) yang tidak mengambil dana amil, namun memiliki segmen bisnis untuk membiayai amil. Bahkan NH pernah menggunakan jargon Satu-satunya LAZ yang tidak mengambil dana amil.
NH awalnya Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) yang menyantuni anak yatim. Kemudian membentuk LAZ nasional. Lantas mendirikan usaha kambing akikah. Maju pesat.
Setiap NH mau mendirikan cabang LKSA di sebuah daerah, usaha kambing akikah dibangun dulu. Setelah usaha berjalan lalu membuka cabang LAZ.
Pak Imron juga menceritakan tentang sekte Kristen Mormon yang memiliki dana kelola 800 triliun. Terbagi di Tesla, Google, Apple, Microsoft dan berbagai perusahan blue chip lainnya.
Katanya, kiat-kiat seperti ini yang menurutnya perlu dicontoh. Lebih jauh dia berargumentasi, 12,5 persen dan 20 persen kaitannya adalah hak fundraising bukan reward untuk tasaruf.
Maka pengelolaan operasional tasaruf yang besar dalam pemberdayaan harus dicarikan solusi di antaranya seperti Nurul Hayat dan Mormon. Sehingga hak amil tidak tergerus besar dalam program tasaruf. Apalagi jika hak amil kecil, susah untuk membiayai semuanya.
Editor Sugeng Purwanto