PWMU.CO – Pentingnya menutup aurat dibahas di Gerakan Perempuan Mengaji yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Wringinanom Gresik Jawa Timur, Ahad (19/5/2024).
Aurat adalah anggota tubuh yang terbuka, Dra Nur Djamilah MPd mengawali tausiahnya di hadapan Ibu Aisyiyah dari tujuh ranting yang di PCA Wringinanom.
Selanjutnya Pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah Sidoarjo Jawa Timur ini menjelaskan dari terbukanya aurat akan muncul nafsu.
“Nafsu yang diizinkan atau diperbolehkan hanyalah nafsu suami kepada istrinya atau istri kepala suaminya,” jelas anak mantu Pendiri Ponpes Al Fattah ini.
Ibu tujuh anak ini menegaskan meskipun dua sejoli yang sudah pada jenjang lamaran dan status belum menikah aurat tetap ada batasannya.
Bertempat di Masjid Nurul Huda, Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) Tlanak ini dia menerangkan adapun batasan aurat bagi laki-laki mulai dari pusar sampai lutut. “Sedangkan pada perempuan semua tubuhnya aurat kecuali muka dan telapak tangan,” tegasnya.
Dalil yang menerangkan tentang kewajiban perempuan untuk menutup aurat terdapat dalam Quran surat an-Nur ayat 31. Kandungan surat tersebut seorang perempuan diperintahkan untuk menahan atau menjaga pandangan, kemaluan, dan menutup aurat.
“Bagaimana jika ada seorang perempuan yang berkerudung tetapi menerawang dan ketat?” tanyanya.
Sama saja dengan berpakaian tapi telanjang, sambungnya, dia mengutip Quran surat al-Ahzab ayat 59 yang memerintahkan kepada wanita muslim untuk menurunkan jilbabnya. “Karena sungguh banyak yang menanggung dosa seorang perempuan jika ia terseret ke neraka,” tegasnya.
Jika perempuan tersebut belum menikah, maka yang ikut menanggung dosanya adalah ayah dan saudara laki-lakinya. “Dimana orang tersebut yang boleh menikahkannya.
Dia menyitir hadist Rasulullah bahwa Rasulullah melihat kebanyakan penghuni surga adalah kaum fukara (miskin), sedangkan kebanyakan penghuni neraka adalah kaum wanita.
Perempuan muslimah menjalankan kewajiban degan menutup aurat mempunyai hikmah. Pertama, melindungi perempuan tersebut dari sentuhan baik langsung maupun tidak langsung dari laki-laki. “Kedua, menjaga perempuan dengan pakaian terhormat,” ungkapnya.
Selanjutnya sesi tanya jawab, pertanyaan dilontarkan oleh Nur Alfah SPd. Dia menanyakan bagaimana hukum pernikahan anak hasil zina yang terpaksa dinikahkan oleh ayahnya karena keluarga merasa malu dan berusaha menutupi aibnya.
Djamilah, panggilan akrabnya, menjawab seharusnya yang bertanggung jawab menikahkan adalah wali hakim. Jika ada tetangga atau hakim yang mengetahui status perempuan tersebut hendaklah memberi pengertian terlebih dahulu kepada keluarga.
“Apabila pernikahan tetap dilaksanakan dengan wali sang ayah, maka pernikahan tersebut tidak sah hingga turun-temurun,” jawabnya. (*)
Penulis Kusmiani. Editor Ichwan Arif.