PWMU.CO – Siang itu, saya dan istri menonton film Tuhan Izinkan Aku Berdosa besutan Hanung Bramantyo dengan naskah ditulis Ifan Ismail di Gressmall kawasan Gresik Kota Baru (GKB) Gresik, Ahad (26/5/2024).
Sebelum memastikan menonton, saya tertarik dengan judul film yang provokatif, Tuhan Izinkan Aku Berdosa. Filmini adalah sejatinya adaptasi dari novel bertajuk Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhiddin M Dahlan yang rilis 2003.
Sambil menunggu pintu studio dibuka, saya mengamati poster film yang dipajang di sebelah kanan pintu studio. Mulai dari gambar dari bawah ke atas dan juga artis yang membintangi. Saya pun melihat jam tangan, berharap pintu segera dibuka dan bisa segera menyaksikan film yang dibintangi Aghniny Haque, Donny Damara, Djenar Maesa Ayu, Andri Mashadi, Nikita Mirzani, Keanu AGL, dan Nugie ini.
Menempati row F seat 9 dan 10, pada pukul 12.10 saya dan istri masuk studio dengan suhu yang membuat kulit tangan kedinginan. Kaki menapaki tangga bagian tengah studio yang berkarpet abu-abu bercorak. Sambil mata melihat urutan huruf dan angka yang tertera di bagian bawah dan atas kursi berwarna hujau nan empuk.
Sekitar 15 menit berjalan, istri terkaget-kaget dengan alur cerita yang memadukan 2 plot, maju dan mundur. “Kog bingung ya, Yah?” Saya pun melirik. “Dilihat aja dulu, nantikan tahu jalan ceritanya,” kataku pelan, sambil tersenyum.
Bagaikan mozaik, saya disuguhi kisah terpenggal-penggal. Awalnya, tokoh Kiran yang diperankan Aghniny Haque saat diskusi di sekolah. Setelah itu, digambarkan dia memerankan tokoh wanita panggilan yang sedang berada di kolam renang hotel menunggu pria berjas hitam dan berdasi.
Film ini mengangkat kisah perjalanan seorang perempuan yang jadi penyintas pelecehan seksual. Karakter perempuan utama ini sedang menghadapi berbagai tudingan dan fitnah hanya karena mengatakan kebenaran.
Penderitaan Kiran, tidak berhenti. Terus terjun bebas. Sampai-sampai mengatakan, Tuhan tidak adil dengan doa dan shalat yang sudah dilakukan. Penindasan dan pengkhianatan inilah yang menjadi pemantik langkah dia menuju dunia prostitusi. Hasrat ini, katanya, sebagai upaya balas dendam untuk memuaskan sakit hatinya.
Selain itu, film ini begitu apik membahas ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di tengah masyarakat. Belum lagi, ada penggambaran dogma dan kultus dalam organisasi agama yang menjadi wadah ketimpangan kekuasaan hingga pelecehan seksual.
Menariknya lagi, film ini juga menggambarkan soal perilaku asusila politisi yang menyewa pelacur untuk memuaskan hasrat diri yang bertolak belakang dengan ‘orang suci’ yang seharusnya diperankan dalam ‘strata’ masyarakatnya.
Pura-Pura Normal
Tuhan Izinkan Aku Berdosa adalah sebuah mimesis (tiruan). Film yang memotret keadaan sekitar, sebagai bentuk ‘pertanggungjawaban’ proses kreatif pengarang. Bagaimana mengaitkan sebuah karya dengan realitas atau kenyataan yang ada dan sedang terjadi.
“Film ini Indonesia banget,” ucapku dalam hati usai menyaksikan film.
Mengapa demikian? Film ini adalah sindiran secara visual melalui alur cerita. Di dalamnya, saya bisa melihat ‘kekejaman’ hidup yang berkedok topeng berwajah cantik dan juga ganteng. Padahal, di dalamnya banyak topeng ketidaknormalan, bopeng-bopeng, penuh luka bernanah.
Kita bisa menyaksikan tokoh-tokoh yang pura-pura normal, berdasi, berjas, berpangkat, politisi, bahkan pendidik. Mereka serta merta memainkan opera yang mengenakan topeng kepura-puraan. Pura-pura berjasa, cinta masyarakat, suci, maupun dermawan.
Topeng-topeng itu yang mengakibatkan wajah abnormal. Absurd. Maka, pura-pura, bohong, munafik, maupun prostitusi dianggap wajar dan halal. Mereka pun diberi panggung lewat topeng-topeng itu. Berjingrak-jingkrak, bersenang-senang, sampai-sampai mereka tidak sadarkan diri sudah berada di negeri topeng ini.
Mimesis yang Indonesia banget, kataku lagi. Saya pun tidak membayangkan, kalau realitas dalam film ini benar-benar ada dan terjadi di negeriku. “Apa jadinya negeri ini?” tanyaku retoris.
Ya, kayaknya topeng-topeng itu lagi menunggu. Topeng-topeng itu sedang dirental bahkan dijualbelikan. “Saya nggak tahu, apakah sudah dipakai atau sedang inden waktu, kapan di mana mau dipraktikkan dan dilaksanakan secara indah, nyaris sempurna, tidak terlihat, halus, tak terdengar dan terendus, bahkan nyaris tak terdengar suaranya.”
Semoga kepura-puraan ini hanya terjadi panggung sandiwara, bukan di panggung negeriku yang tercinta ini. Semoga (*)
Penulis Ichwan Arif.