Muhammadiyah Harus Hati-Hati Menerima Tawaran Izin Usaha Pertambangan; Oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik
PWMU.CO – Pemerintahan Presiden Jokowi membuat terobosan memberi Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada ormas keagamaan. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyambut positif dan menilai sebagai langkah berani Presiden Jokowi.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti cenderung moderat dan berhati-hati menyikapi kebijakan IUP untuk ormas keagamaan.
Melansir kabar di sejumlah media yang mengutip pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Nahdlatul Ulama (NU) berpeluang menjadi ormas pertama yang akan menerima IUP, tetapi belum disebutkan jenis tambang apa yang akan diberikan: batubara, nikel, timah, emas, atau lainnya?
Tambang atau mining selama ini identik dengan kegiatan mengambil sumber daya alam dari dalam perut bumi. Aktivitas tambang pada skala ringan telah berkembang di tengah masyarakat seperti tambang pasir, tambang marmer, kapur, emas dan lain-lain.
Tambang skala besar untuk mengambil minyak, gas, batu bara, nikel, timah, dan sejenisnya hanya bisa dilakukan korporasi-korporasi yang memiliki modal besar dan teknologi tinggi. Tidak jarang potensi tambang “zonk” alias kosong karena teknologi yang dipakai salah prediksi kandungan mineral di dalam perut bumi.
Kandungan mineral dan kualitas yang tidak pasti menjadikan bisnis mining atau tambang termasuk kategori bisnis risiko tinggi (high risk). Ketidakpastian lainnya adalah tentang harga yang sangat dipengaruhi spekulasi di pasar komoditi dunia menyesuaikan data supply demand (penawaran dan permintaan).
Data arus modal, tren minat industri barang dan jasa yang membutuhkan bahan baku dari sumber daya alam ikut memengaruhi naik turun harga komoditi hasil tambang. Pemegang data menjadi penguasa baru di era ekonomi berkemajuan saat ini. Data-data tersebut diperoleh dengan menggali atau menambang dan populer dengan istilah “data mining”.
Sejarah Tambang Data atau Data Mining
Sebelum tahun 1990-an, data mining dikenal sebagai subproses besar KDD (Knowledge Discovery in Databases). Dalam hal penambangan data saat ini, KDD lebih relevan karena sumber pengetahuan tidak lagi terbatas pada basis data.
Tahun 1990-an, sains, bisnis, dan pemerintah mengawali pembuatan “tumpukan” data. Kemampuan teknologi informasi dalam mengumpulkan dan menyimpan berbagai macam data sangat jauh melampaui kemampuan menganalisis, meringkas, dan mengekstrak ‘kesimpulan’ dari data tersebut.
Di tahun 1996, sekelompok perusahaan memimpin suatu proyek untuk menstandarisasi dan memformalkan teknik data mining. Pekerjaan tersebut menghasilkan Proses Standar Lintas Industri untuk Penambangan Data.
Memasuki era milenial tahun 2000-an, perusahaan web mulai menyadari kekuatan data mining, dan praktiknya masih berjalan hingga sekarang.
Persyarikatan Muhammadiyah telah mengelola bermacam amal usaha lebih kurang berjumlah 172 perguruan tinggi, 123 rumah sakit, 3334 sekolah, 326 pesantren, 12.0000 masjid, 173 baitu tamwil
dan lain-lain. Ribuan amal usaha tersebut memiliki kandungan data yang sangat berharga untuk digali/ditambang, dianalisis, dimanfaatkan untuk memajukan Persyarikatan, masyarakat, bangsa dan negara.
Semoga Muhammadiyah tidak gegabah menerima tawaran IUP dari pemerintah. Jika harus ikut mengelola tambang yang ditawarkan pemerintah bisa mengukur kemampuan, baik skill, pengetahuan maupun kesiapan pendanaan.
Kerugian dan kegagalan pada bisnis raksasa yang minim kajian, bersifat coba-coba dikhawatirkan mengorbankan ribuan amal usaha yang sudah ada. Perguruan tinggi, rumah sakit, sekolah-sekolah elite sampai sekolah “sulit” sebagai keunggulan komparatif yang harus dimajukan.
Bisnis berkemajuan mengarah pada spesialisasi dan keunggulan kompetensi, bukan lagi konglomerasi, semua dimasuki, semua diurusi, dimaui yang ujung-ujungnya rugi minta subsidi, semacam benalu yang mengganggu usaha lain yang lebih sehat. Wallahualambishawab . (*)
Editor Mohammad Nurfatoni