Bertemu Cik Gu di Masjid Al-Haram, Ini yang Istimewa dari Sistem Haji Malaysia, Liputan Kontributor PWMU.CO Mustain Masdar dari Tanah Suci
PWMU.CO – Umat Islam yang datang ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji berasal dari seluruh dunia. Mulai dari negara yang berpenduduk ratusan juta hingga hanya puluhan juta. Dari yang terdekat maupun dari yang paling jauh dari Arab Saudi. Dari negara terkaya hingga negara yang masuk katagori termiskin. Dari ras berkulit putih hingga berkulit hitam. Negara-negara dari benua Eropa, Amerika, Afrika, semua ada. Apalagi Asia, mayoritas.
Ibadah haji merupakan panggilan Allah. Allah tidak memangil yang mampu, tetapi Allah memampukan siapa yang Dia panggil. Siapa yang sudah terpanggil, maka mereka akan datang meski dari tempat yang jauh sekalipun.
Bahkan dari negara yang pemeritahannya diskriminasi terhadap Islam, seperti Cina atau India, tidak menyurutkan ribuan ummat Islam berangkat haji. Ratusan bahasa dari berbagai warna kulit terdengar di kanan kiri kita. Meski tak bisa saling mengerti, tetapi Allah pertemukan dengan satu bahasa assalamu’alaikum, Allahuakbar.
Mengintip Sistem Pelaksanaan Haji Negari Jiran
Tak terkecuali negara tetangga (jiran) kita, Malasyia. Negeri berpenduduk Muslim sekitar 61,32 persen ini memberangkatkan penduduknya yang beragama Islam sekutar 31.600 orag sesuai kuota yang didapatkan dari kerajaan Arab Saudi. Di antara jamaah calon haji (JCH) tersebut ada Mujahid Misran Al Yamani (47).
PWMU.CO sempat ngobrol banyak hal dengannya di lantai 3 Masjid al-Haram sambil menunggu shalat Isya’ dilaksanakan. Sola masa tungggu haji, Mujahid bercerita hampir sama dengan Indonesia. “Saya menunggu 16 tahun untuk bisa berangkat. Bapak masih beruntung, hanya 12 tahun sudah bisa pergi,” ujar Mujahid yang minta dipanggil Cik Gu itu, Senin (3/6/2024).
Ternyata dia seorang guru sekolah dasar. Pantaslah minta dipanggil Cik Gu. “Oh, ini Upin sama Ipin lagi libur sekolahnya, karena ditinggal Cik Gu pergi haji,” kata saya bercanda.
“Oh, Bapak juga suka nonton film Upin-Ipin,” katany,
Pria yang tinggal di Johor ini mengatakan, sistem haji di Malaysia hampir sama dengan di Indonesia. Ada masa tunggu. Ada setoran awal BIPIH. Juga ada pendampingan. “Seperti saya ini, 16 tahun baru bisa berangkat. Kalau sekarang daftar, bisa 100 tahun ke depan baru berangkat,” ungkapnya.
Soal biaya haji, Cik Gu menjelaskan, dulu biayanya sama,. Semua orang atau penduduk Malaysia tak ada perbedaan. Tetapi semenjak dua tahun lalu ada kebijakan baru, yaitu baixa haji berdasarkan katagori pendapatan penduduk. Katagori A sebesar 33.000 Ringgit, B 19.000 Ringgit, dan C 12.000 Ringgit. Sementara untuk setoran awal sebesar 1.300 Ringgit. Jika dihitung dengan nilai rupiah berkisar antara 42 juta sampai 114 juta. Kurang lebih sama dengan di Indonesia.
Yang menarik di Malaysia ada hak istimewa istri atau suami. Artinya suami dan istri tidak harus mendaftar keduanya. Cukup salah satu yang mendaftar karena, misalnya, tak cukup uang. Jika suami yang mendaftar dan istri tidak mendaftar, terus jadwalnya sudah sampai, maka suami langsung bisa mengajak istrinya.
“Tentu harus mendaftar saat pemberangkatan dan membayar sesuai ketentuan. ssebaliknya, jika istri yang mendaftar dan suami tidak, maka nanti pada saatnya terpanggil otomatis sang suami bisa mendampingi istrinya,” terangnya.
Lebih lanjut Cik Gu menjekaskan kebijakan negara tentang ‘hadiah pembantu’ kepada lansia (75 tahun ke atas digolongkan lansia). Diia mencontohkan dirinya yang berangkat berlima bersama istri, kedua orang tua (mertua) dan seorang pembantu. Tetapi yang mendaftar awal hanya dirinya dan ayah mertuanya.
Menurutnya, negara memandang, suami istri itu sebuah perkumpulan yang istimewa, maka harus diberi hak istimewa, yaitu satu pergi, satunya harus ikut pergi. Kedua-duanya pergi, . Demikian pula lansia harus ada yang menjaga dan mengurus kebutuhannya, maka negara memandang perlu memberi hadiah—dalam arti kuota—langsung (tanpa masa tunggu) kepada salah satu dari keluarga atau pembantu yang ada di rumah tangga tersebut. “Biaya, tetap membayar,” demikian Cik Gu ini mengakhiri obrolannya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni