PWMU.CO – Menemukan spirit kedekatan kepada Allah melalui ibadah haji dan Iedul qurban oleh H Fahmi Salim lc MA, wakil ketua majelis tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada khutbah Iedul Adha yang diselelenggarakan PCM klojen kota Malang di stadion gajayana Malang, Jum’at (1/9).
Dihadapan ribuan jamaah Iedul Adha Fahmi menjelaskan dengan gamblang terkait hikmah dari setiap prosesi ibadah haji.
Kenapa haji disebut sebagai madrasah? Karena haji adalah tempat bagi setiap Muslim—yang mampu melaksanakan dan memenuhi panggilan Allah Swt—untuk belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Karena, manasik haji ini bukan sekadar ritual biasa; bukan sekadar berpeluh, berkeringat, mengeluarkan dana yang tidak sedikit, kemudian kelelahan setelah melaksanakan manasik haji yang begitu berat medannya.
baca: Berbagi Peduli Di Mushalla Eks Lokalisasi Tambak Asri
Namun, ritual-ritual dan amalan-amalan yang ada dalam manasik ibadah haji ini merupakan sebuah madrasah yang mengajarkan totalitas tentang kehidupan agar kita semakin taat, semakin cinta, semakin dekat, dan semakin takwa kepada Allah Swt. Karena itu, kita akan mengkaji firman Allah di atas; mengambil pelajaran (ibrah) dan makna dari kewajiban yang menjadi rukun dalam agama kita. Setiap Muslim yang diberi kemampuan oleh Allah, diberi rezeki yang berlebih; mereka diwajibkan datang ke Rumah Allah (Baitullah) yang mulia, tempat jutaan kaum Muslimin tiap tahunnya bersimpuh memohon kepada-Nya, merendahkan diri, dan mengangungkan Asma-Nya.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, bukankah Allah bisa kita datangi dari tempat kita ini, dari negeri kita, dari kampung kita, dari kota kita, bahkan di rumah kita? Bukankah Allah bisa ditemui di mushalla dan di masjid? Bukankah kita bisa menghadap Allah dengan cara shalat lima waktu? Kenapa kita harus menghadap dan menghampiri Allah langsung ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji?
baca: Selang Kateter Tak Surutkan Semangat Mbah Adenan Jalani Prosesi Haji
Fahmi menjelaskan bahwa Hajja yahujju maknanya sama dengan qasada yaqsidu, yaitu bertujuan sampai ke suatu tempat. Ini makna haji menurut bahasa. Namun, bukan soal bahasa yang akan kita kupas dalam pembahasan ini, melainkan spirit ibadah haji sebagai madrasah bagi kehidupan kaum Muslimin.
Haji adalah ibadah yang sangat istimewa. Haji merupakan puncak dari rukun Islam. Sempurnanya rukun Islam adalah dengan melaksanakan ibadah haji.
Kenapa? Karena ibadah ini menggabungkan empat aspek: dzikir kepada Allah, gerakan plus dzikir, aspek pendanaan finansial atau harta, dan aspek menahan hawa nafsu. Keempat aspek ini ada di dalam manasik haji yang luar biasa. Kita shalat tidak pakai modal uang. Asal punya kemauan, niat untuk menyambut seruan Allah, setiap hari kita bisa melaksanakannya. Shalat isinya dzikir, doa, dan tilawah Al-Qur`an. Shalat ada gerakannya juga, tetapi gerakannya hanya fokus berdiri di dalam satu tempat tidak berpindah-pindah seperti ibadah haji yang mengharuskan berpindah dari satu titik ke titik yang lain, bahkan sampai bermalam; harus melempar ini dan itu; harus wuquf di Padang Arafah; dan lain sebagainya. Gerakan ibadah haji berbeda dengan ibadah lainnya.
baca: Doa Haji Mabrur Menag dari Jamarat
Dalam ibadah haji juga ada aspek jihad harta. Ini juga memerlukan kesiapan, bukan hanya kesiapan mental dan fisik, melainkan juga kesiapan finansial untuk mencapai keridhaan Allah Swt.
Sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya, Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.s. At-Taubah [9]: 41)
Ya, ada jihad harta dalam ibadah haji. Mengapa demikian? Karena, ada orang yang hartanya berlimpah, tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan ibadah haji, tidak terpanggil oleh seruan Allah Swt. Padahal, ia diberi kemampuan untuk berangkat ke Tanah Suci. Karena itu, mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk ibadah haji ini membutuhkan pengorbanan harta, keikhlasan, serta motivasi yang tinggi untuk menyempurnakan rukun Islam ini.
Aspek terakhir, ibadah haji memberikan pelajaran yang penting bagi kita untuk bisa menahan hawa nafsu. Dalam ibadah haji, jika kita tidak menjaga hati kita, menjaga pandangan kita, menjaga telinga kita, menjaga lisan kita, maka hal itu akan merusak ibadah haji kita. Allah Swt berfirman, (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan 4 mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji …. (Q.s. Al-Baqarah [2]: 197)
Selama ihram, kita terikat dengan larangan-larangan, di antaranya: tidak boleh menggunakan wewangian; tidak boleh menikah atau melakukan akad nikah untuk dirinya ataupun orang lain; tidak boleh menggunakan pakaian yang berjahit; dan sebagainya. Inilah pengorbanan, inilah ibadah yang dengannya kita meninggalkan kesibukan dan urusan dunia demi untuk menghadap Allah Swt semata.
baca: Di Mina Jamaah Haji Diajak Hati-Hati agar Tak Lakukan 3 Hal…
IHRAM adalah spirit utama ibadah haji untuk membentuk karakter hamba Allah agar bertakwa, mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Sejatinya, seluruh kehidupan manusia ini diatur oleh syariat-Nya. Jika perbuatan halal saja bisa kita tinggalkan untuk mematuhi larangan ihram haji, maka sudah sewajibnya kita dapat menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang haram, kemaksiatan dan kemunkaran, yang berdimensi agama, sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.
Ibadah haji ini adalah ibadah yang dilakukan secara totalitas untuk menghampiri Allah ‟Azza wa Jalla. Menghampiri Allah dengan berbagai ritual khusus, yang dikemas oleh syariat Islam dalam manasiknya. Kita tidak bisa mendapatkan maknanya, kecuali kita datangi tempat itu, pada waktu tertentu, dan dalam satu bentuk ibadah yang kolosal—jutaan kaum Muslimin dari berbagai belahan bumi serta suku dan ras, berkumpul untuk mengagungkan-Nya. Ibadah haji adalah pertemuan umat Islam sedunia, muktamar umat Islam sedunia.
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil darinya. Di sana ada simbol persatuan umat; saling mengenal antarsuku bangsa; merasakan indahnya persaudaraan dalam tali keimanan; merasakan sebagai satu tubuh yang saling menyayangi dan menghargai. Semua melebur jadi satu dalam balutan kain ihram berwarna putih; dalam lantunan gema talbiyah yang serempak dan menggetarkan hati. Umat Islam dari seluruh dunia yang datang memenuhi panggilan Allah menyatu dalam lautan hikmah, ibadah, dan ma‟rifat kepada Allah.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik” Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”
Ketika beribadah haji tidak ada yang bisa membedakan kita dengan orang lain. Tidak ada sekat. Tidak ada batas. Tidak ada embel-embel status sosial kedudukan di tengah masyarakat karena semuanya berpakaian sama. Tidak ada pakaian khusus yang membeda satu dengan lainnya, yang mengkasta-kastakan umat Islam. Tidak ada pakaian pejabat, pakaian pegawai negeri sipil, ataupun pakaian rakyat jelata. Tidak ada! Semua larut dan berbaur dalam balutan kain berwarna putih bersih. Manasik haji ini mengajarkan kita sebagai Muslim untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Menarik jika kita amati,
Ayat-ayat haji dalam surah al-Baqarah diakhiri dengan peringatan tentang kebangkitan manusia pada hari kiamat, dan surah khusus (al-Hajj) yang memaparkan konsep nilai haji diawali dengan peringatan guncangan hebat di hari kiamat. Ada begitu banyak kesamaan kalau kita lihat antara ibadah haji dengan persiapan kita untuk menghadapi kematian. Pertama, jika mau berangkat ke Tanah Suci sering kali ada perpisahan dengan keluarga, kerabat, tetangga, dan kawan-kawan. Mereka mengantar dan mendoakan kita. Begitu juga dengan kematian, waktu ketika kita berpisah dengan anak-anak, saudara, istri atau suami, tetangga, dan keluarga kita.
Karena itu, kita belajar bagaimana berpisah dengan orang-orang yang kita cintai ini dari ibadah haji. Kedua, jika menghadapi kematian, kita akan dimandikan dan dikafani dengan kain yang putih. Demikian pula ibadah haji. Ketika melaksanakan manasik haji, seorang Muslim harus mandi ihram, niat, lalu menggunakan kain ihram yang juga berwarna putih. Bedanya, kalau haji, kita mandi dan memakai kain ihram sendiri, sedangkan kalau mati, kita yang dimandikan dan kita pula yang dikafani kain putih. Sesampainya di Tanah Suci, kita datang ke Rumah Allah, kemudian puncaknya adalah berkumpul di suatu padang luas bernama Arafah. Peristiwa berkumpulnya manusia di Padang Arafah adalah miniatur dari berkumpulnya kelak seluruh manusia di Padang Mahsyar. Nilai dan motivasi ini harus menjadikan kita sebagai hamba Allah yang takut kepada-Nya, senantiasa taat kepada-Nya, dan selalu mempersiapkan diri kita untuk berjumpa langsung dengan-Nya di akhirat kelak.
Dalam ibadah haji, ada yang disebut dengan thawaf. Ini adalah rukun haji yang tidak bisa ditinggalkan. Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, berputar dari arah kiri ke kanan. Melantunkan dzikir dan doa-doa kepada Allah. Ini mengajarkan kepada kita untuk mengikuti ritme alam semesta yang juga melakukan aktivitas thawaf tiada hentinya. Tata surya mengelilingi bumi, kemudian bumi dan bulan sama-sama thawaf mengelilingi matahari. Bahkan, seluruh planet melakukan thawaf menurut orbitnya masing-masing. Ini adalah sunnatullah di alam semesta. Meski mereka merupakan makhluk Allah yang begitu besar dan hebat, tetapi senantiasa ber-thawaf sebagai tanda mereka bersujud kepada Allah Swt.
Dalam surah Al-Hajj (22) ayat 18 disebutkan: Apakah kamu tiada mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohonpohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar daripada manusia? Ya, semua yang ada di langit dan di bumi tunduk kepada Allah Swt, sujud kepadaNya. Itulah sujud dan dzikirnya mereka kepada Allah dengan cara thawaf mengikuti alam semesta ini. Kita mengelilingi Ka’bah dengan gerakan memutar, seolah kita menyatu dengan alam semesta ini yang bertawaf pada orbitnya masing-masing. Bahkan, dalam suatu riwayat, Ka’bah jika di tarik garis lurus ke atas (vertikal), maka ada tempat yang disebut Baitul Ma’mur, di situlah tempat thawaf-nya para malaikat.
Mereka thawaf setiap hari. Karena itu, setiap hari, setiap waktu, setiap jam, setiap menit, Ka’bah tidak pernah berhenti dikelilingi oleh manusia, baik yang melaksanakan ibadah haji maupun umrah di sepanjang tahunnya. Masya Allah! Apa hikmah kita mengelilingi Ka’bah itu dengan berputar ke arah kiri? Coba Anda buat satu titik bulatan kecil, kemudian putar ke arah kanan, lalu apa yang terjadi? Bulatan kecil yang kita putar itu akan semakin membesar.
Namun, kalau titik bulatan kecil itu kita putar ke arah kiri, maka semakin diputar, ia akan semakin mengecil, dan akan semakin mengecil ke pusatnya. Titik kecil itulah fitrah. Itulah isyarat bahwa putaran kita itu adalah muhasabah, memutar waktu, memutar masa lalu kita, kemudian kembali pada fitrah kita. Demikianlah hikmah dari thawaf yang dimulai dari putaran ke arah kiri.
Kita thawaf untuk menemukan jati diri kita, menemukan fitrah kita, bahwa diri kita adalah 6 kecil di hadapan Allah Swt; bahwa kita hanyalah titik terkecil dari makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya, seperti bintang, bulan, matahari, dan sebagainya.
Berikutnya adalah sa‟i. Ini adalah manasik haji yang diambil dari kisah perjuangan istri Nabiyullah Ibrahim a.s., yaitu Hajar. Dikisahkan bahwa Ibunda Hajar harus bolak-balik sebanyak tujuh kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah hanya untuk mencari sumber kehidupan, yaitu air. Ibunda Hajar mencari air untuk diminum bersama sang anak, Ismail, setelah mereka berdua ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah Swt di sebuah lembah yang tidak ada pepohonan, tidak ada air, bahkan tak terlihat ada kehidupan. Dalam surah Ibrahim (14) ayat 37 disebutkan: … Di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati …. Betapa hebatnya Ibunda Hajar. Meski ia ditinggalkan di sebuah lembah yang tandus, ia tetap bertawakal kepada Allah Swt.
Walaupun ia tahu tidak ada sumber kehidupan di situ, tetapi ia terus berusaha. Ia tetap optimis akan datangnya pertolongan dari Allah. Sikap itu ia wujudkan dengan mencari air, bolak-balik dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah, hingga akhirnya Allah memberikan pertolongan setelah adanya usaha tersebut meski tidak secara langsung. Ya, Allah mengeluarkan air zamzam justru dari tanah yang tandus itu, dari hentakan kaki sang bayi, Ismail a.s., bukan di Bukit Shafa ataupun di Bukit Marwah. Apa pelajaran yang bisa kita ambil?
Hal ini menunjukkan bahwa antara tawakal, doa, dan usaha ini begitu erat kaitannya. Kita tidak bisa hanya berusaha tanpa disertai dengan doa dan tawakal kepada-Nya. Orang yang hanya berusaha tanpa berdoa dan bertawakal, mungkin ia akan mendapatkan apa yang ia usahakan di dunia, tetapi usahanya itu bisa menjerumuskannya pada penyakit sombong dan lupa diri, seolah-olah apa yang ia dapatkan semata-mata karena usahanya belaka. Sikap seperti ini digambarkan dalam Al-Qur`an sebagai perilaku Qarun, sosok manusia kaya yang lupa diri dan sombong.
Qarun mengatakan, “Harta benda dan kekayaan yang aku miliki ini semata-mata karena aku memiliki pengetahuan untuk mendapatkannya.” Qarun tidak menisbatkan kekayaan yang ia milik kepada Sang Pemilik sesungguhnya, yaitu Allah ’Azza wa Jalla sehingga hartanya justru mencelakakan dirinya. Sa‟i bermakna terhimpunnya semua unsur-unsur kebaikan ini: usaha kita, doa kita, tawakal kita, yang akan bertemu dengan taufik dari Allah Swt. Jadi, harus ada usaha dulu, harus ada doa dan tawakal dulu, baru Allah akan membukakan pintu-pintu kesuksesan yang berkah bagi kita. Untuk mendapatkan rezeki tidak bisa berpangku tangan, untuk mendapatkan karunia dari Allah, kita tidak hanya bisa diam tanpa usaha.
Dalam ibadah haji ini, Rasulullah Saw menyatakan bahwa puncak ibadah haji adalah Arafah. Mengapa puncak ibadah haji ini adalah amalan manasik yang begitu simpel? Apa makna wuquf di Arafah? Apa hikmah dari berdiam diri di suatu padang yang luas, tempat kita berdzikir, membaca Al-Qur`an, bermuhasabah, dan melakukan berbagai ibadah sunnah lainnya? Inilah yang menjadi inti dari ibadah haji. Bukan ritual yang berat, seperti mengambil kerikil, melempar jamrah, thawaf, sa‟i, dan bermalam tiga hari tiga malam di Mina.
Bukan itu. Yang menjadi puncaknya adalah berdiam diri di Arafah; melakukan muhasabah (introspeksi diri), memahami bahwa diri ini adalah hamba Allah yang suatu saat akan kembali kepada-Nya. Puncak ibadah haji direfleksikan dalam suatu wuquf sebagai ajang untuk introspeksi, ajang untuk melakukan perbaikan-perbaikan bagi hidup yang akan datang.
Di Arafah inilah Nabi Saw menyampaikan Khutbatul Wada’ (Khutbah Perpisahan) yang sangat fenomenal. Dalam khutbah itu beliau menyatakan bahwa kesempurnaan Islam telah paripurna, sebagaimana firman-Nya, … Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu sebagai agamamu …. (Q.s. Al-Maa`idah [5]: 3) inilah deklarasi kesempurnaan Islam dan syariatnya yang harus kita syukuri dengan komitmen menegakkan syariat Islam secara kaaffah.