PWMU.CO – Naskah Khutbah Idul Adha 1445/2024 oleh ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jatim: Muhammad Mirdasy.
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,
Mengawali khutbah Idul Adha ini, khatib mengajak seluruh jamaah, wabil khusus kepada diri khatib pribadi untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Iman adalah percaya kepada Allah dan takwa menjadi manifestasinya berupa kesiapan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika iman dan takwa senantiasa ada dalam diri kita, maka kita akan senantiasa berada pada jalan kehidupan yang benar dan diridhai oleh Allah SWT.
Selain menguatkan iman dan takwa, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita semua untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Swt yang telah memberikan nikmat yang tak bisa kita hitung satu persatu dalam kehidupan dunia ini. Di antara nikmat nyata dan agung yang kita rasakan saat ini adalah nikmat iman, Islam, dan nikmat sehat, serta umur panjang.
Dengan nikmat tersebut kita masih dipertemukan dengan Hari Raya Idul Adha 1445 H dan masih mampu menjalankan ibadah-ibadah yang ada di bulan Dzulhijjah yang mulia ini di antaranya shalat Idul Adha kali ini. Kita perlu memunculkan kesadaran agar tidak kufur kepada nikmat-nikmat ini.
Allah mengingatkan kita dalam Qs ar-Rahman ayat 13
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)?”
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,
Perlu kita ingat kembali, ada dua momentum ibadah yang tidak bisa lepas dari Hari Raya Idul Adha. Dua ibadah tersebut membutuhkan keikhlasan tingkat tinggi dan bisa menjadi salah satu barometer keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Swt.
Kedua ibadah ini juga harus dilakukan di waktu khusus yakni hanya di bulan Dzulhijjah yang merupakan salah satu bulan mulia dalam agama Islam. Dibutuhkan tekad yang kuat, didukung kemampuan moril dan materiil memadai, jika kita ingin menjalankan ibadah penyempurna keislaman kita.
Kedua ibadah tersebut juga bukan hanya memiliki dimensi vertikal kepada Allah Swt, namun juga memiliki dimensi horizontal atau sosial kepada sesama manusia. Apakah dua ibadah tersebut? ke dua ibadah tersebut adalah kurban dan haji.
Lalu, mengapa kurban dan haji mampu menjadi salah satu barometer atau tolok ukur keimanan kita?
Ibadah kurban dan haji membutuhkan keyakinan, keikhlasan, dan kepercayaan secara totalitas. Bisa kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari, orang yang memiliki harta banyak namun tidak terpanggil hatinya untuk menjalankan perintah Allah dengan berkurban atau berhaji.
Sementara banyak orang yang kurang mampu, namun memiliki keyakinan dan tekad kuat untuk menabung sedikit demi sedikit agar dapat berkurban dan berhaji. Jika tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat, rasanya akan sulit untuk dapat melakukan perintah berkurban dan berhaji ini, dan ini tidak saja menyangkut diri sendiri tetapi bersama dengan keluarga kita.
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,
Terkait dengan perintah berkurban, Allah telah memerintahkannya dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar ayat 1-3 :
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ
“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.” (Al Kautsar : 1)
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (Al Kautsar : 2)
اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ
“Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (Al Kautsar : 3)
Ayat ini tegas memerintahkan kita berkurban untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita diperintahkan untuk menyisihkan harta yang kita miliki dan berbagai daging hewan kurban demi mendekatkan diri kepada Allah.
Hal ini sesuai dengan makna kata kurban itu sendiri yang berasal dari kata “qariba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan” yang artinya dekat, dalam artian mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan perintahnya.
Jika keimanan kita kuat, maka tidak akan ada rasa ragu sedikitpun untuk berkurban dengan hewan yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Tentu keraguan bisa saja datang misalnya karena bayang-bayang uang kita akan berkurang untuk membeli hewan kurban. Padahal jika kita beriman secara total, kita yakin Allah akan mengganti dengan yang lebih banyak dan besar dari apa yang kita keluarkan.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
مَا أَحْسَنَ عَبْدٌ الصَّدَقَةَ إِلَّا أَحْسَنَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْخِلَافَةَ عَلَى تِرْكَتِهِ
“Tidaklah seorang hamba memperbaiki sedekahnya kecuali Allah memperbaiki pengganti atas harta tinggalannya.” (HR Ibnu al-Mubarak).
Terlebih orang yang mampu secara finansial haruslah tidak ragu-ragu untuk berkurban. Rasulullah pun mengingatkan orang yang mampu namun tidak mau berkurban dengan hadisnya:
عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا (رواه احمد وابن ماجه)
“Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW telah bersabda, barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami,” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Berkurban merupakan wujud keimanan dan ketaatan dalam bentuk pengorbanan yang diberikan secara ikhlas sekaligus menjadi wujud kepekaan sosial dengan memberikan daging kurban kepada yang membutuhkan.
Belum terlambat bagi jama’ah yang ingin berkurban, karena ibadah kurban bisa dilaksanakan mulai 10 Dzulhijjah sampai dengan tiga hari Tasyrik ke depan yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Semoga kita bisa berkurban di tahun ini untuk menguatkan keimanan kita.
Idul Qurban dan Keluarga
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,
Perintah berkurban dimulai dari berpamitannya Nabi Allah Ibrahim AS kepada istrinya, dan dia (Ibrahim) berkata,
وَقَالَ اِنِّيْ ذَاهِبٌ اِلٰى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
“Sesungguhnya aku harus pergi (menghadap) kepada Tuhanku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (As Saffat : 99)
Betapa penting kerelaan istri atas suami yang menjalankan perintah Allah SWT. Meski istri nabi sekalipun tidak semua dalam cerita para Nabi memiliki kerelaan, kita dapati dalam syirah nabawiyyah seperti istri Nabi Nuh AS dan Nabi Luth AS.
Oleh karena itu Allah mengingatkan dalam surat At Thagabun ayat 14:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Kita diingatkan oleh Allah SWT, istri-istri dan anak-anak bisa saja menjadi rahmad, namun dibalik itu juga bisa menjadi musuh jika kita tidak membimbingnya dengan baik.
Kemudian pada surat As Saffat ayat 100, dikabarkan oleh Allah, Nabi Ibrahim berdoa :
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang saleh.”
Dan Allah memenuhi doa Nabi Ibrahim tersebut dengan lahirnya anak yang sabar bernama Ismail dari Rahim Ibu Siti Hajar. Kelahiran seorang anak yang ditunggu sedikitnya 89 tahun lamanya.
Kemudian dilanjutkan satu ayat setelahnya,
فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ
“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).” (As Saffat : 101)
Dan, setelah kelahiran tersebut, Nabi Ibrahim diuji dengan meninggalkan Siti Hajar bersama bayi Ismail, di tanah haram tempat ka’bah berada, namun bangunan ka’bah telah runtuh, yang nantinya akan dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan Ismail saat dewasa.
Setelah ditinggal sekian lama, kembalilah Nabi Ibrahim ke Siti Hajar dan Ismail yang telah beranjak dewasa, dan kemudian Allah memberikan perintah yang diabadikan dalam surat As Saffat ayat 102 – 107:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimanakah pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyā Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (As Saffat : 102)
فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ
“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah).” (As Saffat : 103)
وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُۙ
“Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!” (As Saffat : 104)
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَاۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ
“Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.”1 Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (As Saffat : 105)
اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (As Saffat : 106)
وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (As Saffat : 107)
Dari firman Allah tersebut, dapatlah difahami tentang beberapa hal, yaitu :
Pertama, kurban itu adalah pembelajaran keluarga, kesabaran dan keikhlasan atas perintah Allah, baik bapak, ibu dan tentunya anak. Nabi Ibrahim AS, tidak saja mengajak dirinya sendiri dan ummat nya untuk mentaati Allah dan Rasul Nya, namun Dia juga memberikan teladan keimanan pada keluarganya.
Kedua, menyiapkan keluarga untuk mau berkurban dihadapan Allah haruslah kita lakukan sebab bisa jadi yang menghambat keta’atan kepada Allah itu berasalah dari keluarga, bisa istri maupun anak.
Ketiga, kerelaan Ibu Siti Hajar dan kebesaran jiwa seorang anak bernama Ismail adalah contoh penting sesungguhnya dalam setiap kurban itu, asalnya adalah tubuh Ismail, yang dalam perjalanannya, Allah setelah menguji kesabaran dan keikhlasan keduanya, baru menggantikannya dengan seekor domba.
Ini wujud, betapa setiap idul kurban sesungguhnya, adalah waktu dimana kita mengingatkan istri dan anak-anak kita untuk selalu taat dan bertaqwa kepada Allah.
Sehingga Allah mengingatkan kita, dalam Surat Al Hajj ayat 37, yaitu :
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dan sebaik-baik bekal adalah ketaqwaan kepada Allah.”
Haji bagian dari Idul Qurban
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,
Seperti ibadah kurban yang menjadi barometer keimanan, ibadah haji pun demikian juga. Haji merupakan kepatuhan pada perintah Allah dengan harus menempuh perjalanan yang lama dan panjang.
Keimanan kita diuji dengan harus mengeluarkan jutaan rupiah dari penghasilan kita, menunggu antrian panjang untuk berangkat, meninggalkan rumah dan keluarga yang kita cintai, meninggalkan pekerjaan yang menjadi sumber kehidupan kita, dan harus fokus hanya untuk beribadah kepada Allah.
Beratnya ujian keimanan ini sehingga penting bagi setiap orang yang berhaji untuk memantapkan niat berhaji karena Allah SWT, bukan karena yang lainnya. Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ
“Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Al-Baqarah :196)
Haji sebagai barometer keimanan bisa terlihat dari kedisiplinan dan kepatuhan jemaah dalam menjalankan rukun dan wajib haji seperti ihram, tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah, mabit dan melempar jumrah.
Semua memerlukan kekuatan fisik dan mental sebagai cermin kedalaman spiritual dan keimanan seorang Muslim. Dua helai pakaian putih jemaah menjadi simbol kepasrahan bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya tanpa membawa materi dunia.
Tanpa iman yang kuat, bisa jadi kita tidak akan terpanggil-panggil untuk bisa berhaji walaupun uang kita banyak dan mencukupi untuk pergi ke sana. Kita harus menjadikan berangkat haji prioritas dalam hidup melalui ikhtiar dan doa.
Ingatlah, bekal haji yang utama itu bukan harta tetapi kesungguhan ketaqwaan kita kepada Allah, sebagaimana Allah mengingatkan, dalam surat Al Baqorah ayat 197 :
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,
Demikian khutbah Idul Adha ini, semoga bisa memotivasi dan menginspirasi kita semua untuk dapat menjalankan perintah Allah yakni berkurban dan berhaji ke Baitullah sebagai sebagai ujian kita dan keluarga dalam ketaqwaan kepada Allah Swt. Aamiin
Penulis Muhammad Mirdasy Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan