Oleh Dr Aribowo MS
PWMU.CO – Baru dua hari setelah Hasyim Asy’ari buat PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) No 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur/Kepala Daerah. Lewat Sidang DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), dia dipecat dari Ketua dan anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) secara permanen akibat kasus asusila terhadap CAT. Ibarat wayang kulit, kata Hersubeno Arief, Hasyim sudah waktunya masuk kotak. Perannya sudah selesai. Sekarang harus masuk kotak (podcast, off the record, FNN, 3 Juli 2024)
Padahal baru saja dia tanda tangani PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) No 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Putusan Mahkamah Agung nomor 23 P/HUM/2024 telah memodifikasi persyaratan usia calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Awalnya, syarat usia minimal harus terpenuhi saat ditetapkan sebagai pasangan calon, namun putusan tersebut mengubahnya menjadi saat dilantik.
“Syarat berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih,” bunyi Pasal 15 PKPU yang ditandatangani ketua KPU, Hasyim Asy’ari, pada 1 Juli 2024.
Orang Istimewa?
Jika melihat kasus yang melilit Hasyim dan selalu lolos maka dia terasa sosok yang “istimewa”. Minimal ada 5 kasus yang menimpa dia sampai akhirnya dipecat DKPP.
Kasus Etik Pendaftaran Capres-Cawapres
Hasyim Asy’ari pernah diberikan sanksi peringatan keras oleh DKPP karena terbukti melakukan pelanggaran etik terkait proses pendaftaran capres-cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan syarat batas usia Pilpres.
Ketua DKPP, Heddy Lugito mengatakan Hasyim terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman pemilu dalam empat perkara, yaitu perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023.
Dalam perkara ini, KPU seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu kepada DPR dan pemerintah setelah MK membuat keputusan yang tidak tepat. Namun pada kenyataannya, komisioner KPU justru terlebih dulu menyurati pimpinan parpol daripada melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah.
Tak hanya Hasyim, keenam Komisioner KPU lainnya juga dijatuhi sanksi, yaitu August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holid, dikutip dari Kompas.com, Senin (5/2/2024).
Kasus Aturan Jumlah Caleg Perempuan
Pada 26 Oktober 2023, Hasyim juga pernah dijatuhi sanksi peringatan keras terkait dengan aturan jumlah caleg perempuan yang menjadi polemik.
Kasus ini tercantum dalam perkara nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023, dikutip dari Kompas.com (27/10/2023). Anggota majelis pemeriksaan DKPP, Muhammad Tio Aliansyah mengatakan, pihaknya memberikan sanksi karena Hasyim tak mampu menunjukkan sikap kepemimpinan yang profesional terkait dengan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.
Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) tersebut berisi tentang metode penghitungan keterwakilan caleg perempuan paling sedikit 30. Saat MA mengabulkan permohonan uji materiil terhadap aturan tersebut, KPU RI justru tidak menindaklanjuti dengan cara merevisi aturan
Kasus Dugaan Asusila dengan “Wanita Emas”
Hasyim dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP karena affairnya dengan Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni, yang sering dijuluki “Wanita Emas”.
Ia mengaku telah melakukan perjalanan pribadi bersama Hasnaeni dari Jakarta ke Yogyakarta pada 18-19 Agustus 2022 untuk berziarah ke beberapa tempat, dilansir dari Kompas.com (3/4/2023). Kasus itu sebenarnya cukup meyakinkan kalau Hasyim dan Hasnaeni diduga “keras” bertindak asusila. Berbagai bukti dimunculkan dalam Sidang DKPP, baik dari Hasnaeni, advokatnya, bukti material lainnya, dan berbagai pengakuan Hasnaeni maupun “sedikit” dari Hasyim. Namun Hasyim lolos, hanya diberi sanksi Peringatan Keras Terakhir oleh DKPP.
Kasus Irman Gusman
Sanksi juga diberikan kepada Hasyim terkait dengan perkara yang diadukan oleh mantan Ketua DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Repiblik Indonesia), Irman Gusman.
Irman Gusman merupakan mantan terpidana korupsi, yang berupaya untuk maju kembali sebagai senator di daerah pemilihan (dapil) Sumatera Barat. Dalam kasus ini, menurut DKPP, KPU RI telah terbukti tidak cermat, tidak teliti, dan lalai dalam tahapan pencalonan anggota DPD pada pemilu 2024.
Irman Gusman baru dinyatakan tidak memenuhi syarat usai adanya tanggapan masyarakat setelah penetapan daftar calon sementara (DCS). Seharusnya, Irman dari awal tidak ditetapkan sebagai calon senator karena sesuai dengan keputusan MK (Mahmakah Konstitusi).
Dalam putusan MK, disebutkan bahwa mantan terpidana yang mendapat hukuman lima tahun atau lebih, masih perlu menunggu masa jeda lima tahun setelah bebas, apabila ingin menjadi calon anggota legislatif (caleg). Sebagai informasi, Irman baru bebas tanpa syarat pada 26 September 2019 dan belum sesuai syarat dari MK.
Kasus Asusila dengan CAT
Kasus terakhir adalah kasus asusila dengan CAT, anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri PPLN) Den Haag, Belanda.
Kali ini Hasyim diputus berat: dipecat dari anggota dan Ketua KPU secara permanen. DKPP menilai tindakan yang dilakukan oleh Hasyim terhadap pelapor sangat tidak pantas, di mana berada di luar batas kewajaran hubungan antara seorang atasan dan bawahannya. Atas kasus Hasyim Asy’ari, DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Hasyim dari jabatannya sebagai Ketua sekaligus Anggota KPU, terhitung sejak putusan tersebut dibacakan.
Majelis juga memandang bahwa Hasyim telah melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP), dengan memberikan fasilitas khusus kepada pengadu untuk kepentingan pribadi, termasuk melakukan eksploitasi seksual terhadap pengadu saat bimbingan teknis PPLN Den Haag di Belanda pada 3 Oktober 2023, Liputan6.com, Kamis (4/7/2024).
Kapan Hidup Kembali?
Mengacu beberapa kasus di atas dan “kuatnya” Hasyim maka potensial kelak bisa “hidup” kembali. Jika rezim Prabowo sebagai penerus rezim Joko Widodo, termasuk sikap politiknya yang “cuek” maka kebangkitan Hasyim hanya soal waktu saja.
Jika hidup kembali, karena besar sekali “jasanya” ikut memberi karpet merah bagi Gibran dan Kaesang, maka paling sederhana bisa diselipkan di komisaris BUMN (Badan Usaha Milik Negara). (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah