Oleh: Purnawan Basundoro
Dekan FIB UNAIR, Dewan Pakar MPID PWM Jatim dan Dewan Pakar MPI PP Muhammadiyah
PWMU.CO – Bulan Januari 1977 aku mulai sekolah di Taman Kanak-kanak (TK). Satu-satunya TK di desa kami adalah TK ABA (Aisyiyah Bustanul Athfal) yang terletak di Kampung Pejongkengan, yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahku yang terletak di Desa Karangsari Punggelan Banjarnegara.
Saya tidak ingat apakah waktu itu Ayah atau Ibuku mendaftarkan secara resmi atau tidak, tetapi seingatku pada waktu itu hari Senin tiba-tiba aku disuruh berangkat ke TK bertiga, aku, Bulik Ning yang merupakan adik ibuku, dan Rahmat yang masih saudaraku juga.
Aku sudah dibuatkan seragam hijau-kuning oleh Ayahku. Dijahit sendiri oleh Ayah dengan mesin jahit merek Butterfly.
Mesin jahit tersebut merupakan salah satu harta paling mahal yang dipunya oleh kami, selain sepeda kuno merek Phillips yang selalu dipakai Ayah ke sekolah tempat beliau mengajar.
Pada hari pertama masuk sekolah, kami bertiga berjalan bersama dengan bergandenan tangan menuju ke TK. Tidak ada yang mengantar karena ibuku sibuk di rumah mengurus adik yang masih kecil.
Simbahku, ibunya Bulik Ning juga sama sibuknya, karena Bulik Ning masih memiliki adik yang juga masih kecil. Simbahku sampai tua masih memiliki anak kecil.
Sementara Ayahku yang sangat dekat denganku harus mengajar di SD. Jadilah kami bertiga bergandengan tangan berjalan pelan-pelan menuju ke TK.
Jalanan sangat sepi, karena jarak dari rumah ke sekolah harus melewati kebun kosong yang cukup jauh serta melewati makam desa yang bagi kami santat menakutkan.
Hari-hari menegangkan selalu kami alami setiap kali harus berangkat ke TK karena kami tidak pernah diantar. Ketegangan disebabkan karena jalanan yang sepi dan harus melewati makam yang tentu saja menakutkan bagi anak kecil.
Sesampai di sekolah kami disambut oleh dua ibu guru. Beliau mengenalkan diri dengan nama Ibu Armi dan Ibu Mur. Keduanya memakai baju kebayak dengan warna yang sama, serta memakai kain panjang batik (jarit) untuk pakaian bagian bawah, dan kepala mereka tertutup selendang panjang dengan warna yang sama pula.
Mereka memakai baju seragam guru TK ABA. Ibu Armi dan Ibu Mur terlihat anggun dengan pakaian mereka. Kami pun bersalaman dengan beliau, kemudian disuruh masuk dan ditunjukkan tempat duduk kami masing-masing.
Siang sedikit seluruh murid baru sudah masuk kelas, jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang, berasal dari Karangsari, Pejongkengan, dan dari Kampung Sibeo yang merupakan bagian dari Desa Kecepit.
Letak TK ABA memang ada di perbatasan desa sehingga anak-anak dari tetangga desa juga disekolahkan di TK kami. Beberapa nama teman yang aku ingat sampai saat ini antara lain: Bulik Ning, Rahmat, Rasman, Rasmin, Wono, Tri, Purwati, Parip. Nama yang lain aku lupa.
Kondisi fisik TK ABA mirip dengan SD Muhammadiyah yang digambarkan oleh Andrea Hirata di novelnya, Laskar Pelangi.
Sekolah tersebut menghadap ke barat, dengan lantai yang lebih tinggi daripada halamannya, sehingga untuk menuju ke ruang kelas harus naik “undak-undakan” tangga sekitar tiga sampai empat trap.
Seluruh lantainya hanya dari tanah, sehingga terasa dingin di kaki. Kami semua murid bisa merasakan dinginnya lantai tersebut karena kami tidak pernah memakai sepatu alias “nyeker”.
Rangka bangunan terbuat dari kayu, sedangkan usuk-usuknya yang menopang genting terbuat dari bambu. Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu atau gedek.
Di halaman sekolah terdapat satu tiang bendera yang terbuat dari bambu, tidak jauh dari tiang bendera terdapat titian bambu yang digunakan untuk berlatih keseimbangan tubuh.
Tidak ada mainan seperti plorotan atau tangga-tangga besi seperti terlihat pada TK zaman sekarang.
Halaman TK kami cukup luas, yang merupakan juga halaman rumah milik Mbah Tohari. TK kami memang berdiri di atas tanah milik Mbah Tohari. Rumah Mbah Tohari berada di sisi kanan TK, menghadap ke jalan raya.
Pada pagi pertama Ibu Armi dan Ibu Mur menanya nama kami satu per satu. Kami menjawab pertanyaan mereka dengan amat pelan, ada rasa takut. Setelah nama-nama disebutkan, pelajaran pun dimulai.
Sejak saat itu selama satu tahun kami berada di bawah bimbingan Ibu Armi dan Ibu Mur. Kami diajari doa sehari-hari, belajar nyanyi lagu-lagu sederhana, dan bermain. Tidak ada alat permainan berarti di sekolah kami.
Di pojok kanan kelas ada satu bak terbuat dari kayu, memanjang yang berisi pasir. Saya tidak tahu persis untuk apa bak pasir tersebut, tetapi setiap hari kami main pasir.
Terdapat pula satu meja guru dengan dua kursi, di rak meja ada satu mainan terbuat dari adonan kertas berbentuk binatang. Saya lupa binatang apa yang digambarkan dalam mainan tersebut. Itulah satu-satunya mainan di sekolah kami.
Kegiatan di sekolah dimulai sekitar pukul tujuh pagi. Hampir semua murid sudah berada di sekolah sekitar pukul enam lebih sedikit.
Ibu Armi dan Ibu Mur belum hadir ketika kami sudah berada di sekolah. Kami lebih banyak diam dan hanya saling memandang antara kami dan teman-teman jika ibu guru belum datang.
Kami berada dalam ketegangan yang tak kunjung sembuh karena letak sekolah kami yang jauh, untuk ukuran anak seusia kami pada waktu itu.
Perjalanan dari rumah menuju sekolah adalah perjalanan yang menegangkan dan menakutkan. Jalanan yang sepi dan harus melewati makam adalah dua hal penyebab ketakutan itu.
Menjelang pukul tujuh Ibu Armi dan Ibu Mur sudah sampai di sekolah. Mereka diantar oleh suami dengan membonceng sepeda.
Rumah Ibu Armi dan Ibu Mur berada di desa Kecepit, tetangga desaku. Suami Ibu Armi bernama Pak Rosidi. Beliau aktivis Muhammadiyah di desanya, sekaligus guru di MTs Muhammadiyah. Sedangkan suami Ibu Mur bernama Pak Salim, beliau juga tokoh Muhammadiyah di Desa Kecepit.
Pekerjaan sehari-hari adalah pegawai di Kantor Depag Kecamatan Punggelan. Sebelum pensiun beliau menjabat sebagai penghulu di kantor tersebut. Pak Salim masih memiliki hubungan kerabat dengan Ayahku. Mereka berdua merupakan saudara sepupu.
Aktivitas di TK selalu diawali dengan pelajaran doa-doa. Ada doa makan, doa berangkat sekolah, doa mau tidur, dan doa-doa harian lainnya.
Selama pelajaran, bahasa yang digunakan di kelas adalah Bahasa Jawa. Ibu Armi dan Ibu Mur memberi instruksi dengan Bahasa Jawa kromo, sementara kami sebagai murid lebih banyak berbahasa Jawa ngoko khas Banyumasan yang menurut orang luar Banyumas dianggap kasar.
Sebagian besar anak-anak di desa kami memang kurang paham bahasa kromo. Setelah pelajaran berjalan sekitar satu jam, kemudian ada jeda istirahat. Anak-anak diberi kebebasan untuk bermain, baik di dalam kelas atu pun di halaman sekolah.
Setelah lima belas menit istirahat, anak-anak dipersilahkan masuk kelas kembali. Pelajaran akan berganti dengan pelajaran menyanyi.
Tidak pernah ada pelajaran menulis selama kami sekolah di TK. Kami tidak pernah membawa buku ke sekolah. Sehari-hari hanya pelajaran berdoa dan menyanyi.
Beberapa kali ada pelajaran menggambar, kertas dan pensil diberi oleh ibu guru. Sekitar pukul sembilan lebih sedikit, seluruh aktivitas di TK berakhir.
Biasanya kami akan menutup kelas dengan menyanyikan lagu Ayo Kondur, yang merupakan lagu ajakan untuk pulang dengan syair sebagai berikut:
Ayo kondur, ayo kondur
Kondur bebarengan
Ngati-ati ngati-ati
Jo podo tukaran
(Mari pulang, mari pulang
pulang bersama-sama
Hati-hati hati-hati
Jangan saling bertengkar)
Lagu tersebut menjadi ritual sebelum pulang. Setelah lagu tersebut berakhir, dilanjutkan dengan doa penutup berupa bacaan Al Qur’an surat Al Ashr, dan kami pun berebut keluar kelas.
Setelah anak-anak hafal dengan lagu Ayo Kondur, maka jika ada anak yang sudah mulai tidak betah duduk di kelas dan ingin pulang, ia akan berteriak ke ibu guru, “Ayo kondur Bu Guru.”
Biasanya Ibu Armi atai Ibu Mur akan menjawab teriakan tersebut dengan amat sabar, “Mangke nggih, sekedap malih.” Kemudian Ibu Armi atau Ibu Mur akan mendekati anak yang sudah bosan tersebut dan mengelus-elus kepalanya sambil memberi kalimat-kalimat penenang.
Pada hari Jumat, pelajaran dimulai dengan olah raga. Pelajaran olah raga yang diajarkan ke kami adalah berjalan di atas titian bambu yang ada di halaman sekolah atau berlari dari ujung ke ujung halaman sekolah.
Satu per satu anak-anak disuruh berjalan di titian bambu. Mula-mula banyak yang jatuh atau melompat ketika baru beberapa langkah di titian, tetapi lama kelamaan kami terbiasa juga meniti bambu yang panjangnya sekitar tiga meter.
Sesekali kami diajak ke lapangan bola yang letaknya hanya sekitar seratus meter dari sekolah. Di lapangan yang luas tersebut kami disuruh berlari-lari, kadang diberi bola kasti untuk bermain.
Selama satu tahun kami yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh anak berada dalam bimbingan Ibu Armi dan Ibu Mur di TK ABA Karangsari yang terletak di Kampung Pejongkengan.
Secara kuantitas mungkin tidak banyak pelajaran yang diberikan kepada kami, namun secara kualitas kami mendapatkan segalanya dari mereka berdua.
Ibu Armi dan Ibu Mur memberi bekal yang luar biasa kepada kami, yaitu kepercayaan kepada Yang Maha Tinggi, Allah SWT. Doa-doa yang beliau ajarkan adalah bekal kami untuk meniti hidup pada tahapan berikutnya.
Pada Desember 1977, kami mengakhiri pelajaran di TK ABA, dan pada Januari 1978, aku yang dari Karangsari didaftarkan ke SD Karangsari untuk melanjutkan sekolah, sedangkan kaan-kawan kami yang berasal dari Desa Kecepit meneruskan pelajarannya di SD Kecepit.
Editor Azrohal Hasan