PWMU.CO – Pulang dari Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) dari Bandung ke Surabaya, menembus dinginnya malam di kereta api Mutiara Selatan, Senin (14/7/2024).
Dengan menempuh perjalanan 10 jam terkurung dinginnya gerbong penumpang, memang lumayan jenuh dan membosankan. Saat jam 23.45 WIB, tiba-tiba terbersit niatan ingin sekedar membunuh waktu dan penasaran pingin masuk ruang restorasi, ruang khusus makan atau minum di kereta api.
Sesampainya di restorasi bertemulah dengan pria yang tidak lain adalah pegawai restorasi, dengan ramah dan senyum terkulum di bibir pria paruh baya itu menyapa, “Mau makan atau minum Bapak?,” “Minuman hangat ada?” Balas saya sambil nanya.
“Ada Wedang Uwuh; minuman dengan bahan-bahan yang berupa dedaunan mirip dengan rempah. Dalam bahasa Jawa, Wedang berarti minuman yang diseduh, sedangkan uwuh berarti sampah. Wedang uwuh disajikan panas atau hangat memiliki rasa manis dan pedas dengan warna merah cerah dan aroma harum,” jelas pria berseragam hitam ini.
Setelah menikmati hangatnya wedang uwuh dan bakso, saya pun mencoba tanya lebih dekat petugas yang sejak tadi terdengar ngomong bahasa Jawa. “Dua hari banyak dengar ngomong bahasa Sunda, dengar bahasa Jawa menjadi tumbuh rasa keakraban,” gumam saya.
“Asli mana Mas?” tanya saya, “Lamongan,” jawabnya. “Lho Lamongan mana, saya juga Lamongan, paciran?” balas saya penuh semangat, merasa sesama Lamongan, “Babat Tritunggal“, jawabnya dengan semangat pula.
Akhirnya obrolan berlangsung penuh akrab dan hangat sehangat wedang uwuh yang saya minum, dengan bahasa jawa medok, akhirnya saling kenal dan mengaku bahwa dia wali murid SMA Muhammadiyah 1 Babat dan dia merasa sesama dekat karena sesana banglades (bangsa Lamongan desa).
Pria itu bernama Ahmad Roikan, ayah 2 anak (Fabian Indra Kurniawan dan Rania Putri) ini mengaku sudah 20 tahun bekerja di Kereta Api Indonesia (KAI) ini. Pria kelahiran 1986 ini mengaku enjoy dan menikmati profesi ini, meskipun harus begadang tiap malam, karena dia mengikuti jadwal kereta malam.
Hal yang tidak disukai dalam menggeluti profesi ini manakala ada komplain kecil dari pemesan makanan atau minuman, dan komplain itu langsung dilayangkan ke telepon 121, kok tidak langsung ke orangnya, padahal dia sudah semaksimal mungkin menjalani profesi melayani penumpang.
“Tapi saya juga memaklumi karena di sini saya ketemu orang banyak dengan macam-macam karakter dan gak faham kalau isi kereta dengan 8 gerbong ini sejumlah 400 orang,” tutur alumnus SMPN 3 Babat Lamongan ini.
Usai bincang hangat ini sekitar 45 menit ini, akhirnya saya balik tempat duduk saya di eksekutif 6D, saya merasa bangga dan senang ketemu sesama warga persyarikatan Muhammadiyah dari Lamongan di perjalanan sekitar Tasikmalaya Jawa Barat. (*)
Penulis Gondo Waloyo Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan