Oleh: Wildan Nanda Rahmatullah – Alumnus Ilmu Sejarah Unair, Guru Sejarah SMA
PWMU.CO – 10 Muharram menjadi hari yang sakral bagi umat Islam. Hari ini dikenal juga dengan hari asyura yang disunnahkan Rasulullah untuk berpuasa. Tapi, kali ini kita tidak berfokus pada bagaimana puasa itu disunnahkan oleh Nabi.
Kita mundur pada 10 Oktober 680, bertepatan dengan 10 Muharram tahun 61 hijriyah. Pada masa ini, kembali terpecah pasca ‘Amul Jamaah’ atau tahun persatuan umat Islam antara Hasan bin Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Tahun 680 Masehi bertepatan dengan masa kekuasaan Dinasti Umayyah yang nanti akan berkuasa selama 90 tahun. Pada masa ini, Dinasti Umayyah dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah. Wafatnya Hasan bin Ali membuat Muawiyah berpikir bahwa perjanjiannya dengan Hasan batal, dan menyerahkan kekuasaannya pada anaknya, Yazid.
Hal ini mengundang kemarahan dari beberapa pihak, seperti Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair (putra Zubair bin Awwam). Pengaruh Muawiyah yang semakin kuat karena berhasil menstabilkan kondisi politik pasca wafatnya Utsman bin Affan membuat dukungan yang didapat olehnya semakin masif.
Sejarah mencatat bahwa, masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah penuh dengan kontroversi. Ini terutama terkait dengan sikap moral dan sistem politiknya yang janggal. Dalam masa pemerintahan Yazid ini, Husein dan Abdullah bin Zubair mencoba bekerja sama dengannya.
Yazid berusaha untuk menundukkan lawan-lawan politiknya. Berbeda dengan Muawiyah yang berhasil mendapat dukungan dari seluruh wilayah umat Islam, Yazid gagal mendapat dukungan dari daerah Kufah yang kini masuk wilayah Irak.
Perjalanan Husein ke Kufah
Husein bin Ali mendengar kabar bahwa masyarakat Kufah menerimanya sebagai pemimpin. Maka berangkatlah rombongan Husein bin Ali beserta keluarganya dan sekitar 50 orang lain menuju arah utara dari Kota Mekkah. Setelah separuh jalan, mereka mendapat kabar bahwa masyarakat Kufah sudah tunduk pada pemerintahan Yazid.
Namun, mengetahui hal tersebut membuat Husein tetap berjalan menuju Kufah, setidaknya untuk memberikan harapan pada masyarakat kota tersebut. Namun, mendekati wilayah Karbala rombongan Husein dihadang oleh pasukan dari Bani Umayyah pada 9 Oktober (9 Muharram 61 H),
Pasukan Husein akhirnya harus berhadapan dengan pasukan dari Yazid bin Muawiyah. Ada banyak versi terkait berapa jumlah pasukan Husein dan Yazid, namun semua sumber yang ada menunjukkan bahwa pasukan Husein kalah jumlah dibanding Yazid.
Pertempuran akhirnya pecah pada tanggal 10 Oktober (10 Muharram 61 H). Meski sempat bisa memukul mundur pasukan Yazid, tetapi rombongan Husein mendapati kekalahan pasca tenda-tenda mereka dibakar oleh pasukan Yazid. Dengan pembakaran tenda ini, otomatis kekuatan pasukan Husein akhirnya melemah dan pasukan Yazid membantai rombongan dari Husein.
Dalam peristiwa Karbala ini, ada sumber yang menyebutkan bahwa Husein masih bertarung meski kondisinya kritis. Dengan panah yang menancap di mulutnya, kepalanya dihantam, Husein masih berusaha untuk bangkit hingga akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya setelah ditebas lehernya oleh pedang pasukan Yazid.
Pasukan Husein bin Ali menerima kekalahan dan kerugian yang sangat besar bahkan meski putra Husein satu-satunya yang hidup, yakni Ali Zainal Abidin (659-713 M), Dia tidak ikut serta dalam peperangan karena sakit saat itu.
Dalam komunitas Syiah, mereka menganggap bahwa peristiwa Karbala masuk dalam hari sakral dan masuk dalam ajaran agama. Komunitas Syiah memperingati hari ini dengan upacara di tanggal 10 Muharram dengan melakukan dera diri dan melantunkan pujian pada Husein bin Ali.
Peristiwa Karbala juga termasuk kejadian yang urgent dalam perjalanan sejarah Islam. Bagaimana tidak? Buntut peristiwa ini adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap Bani Umayyah, sampai berdirinya Dinasti Abbasiyah pada 750 M (132 H).
Editor Ni’matul Faizah