Oleh: Teguh Imami – Anggota MPID PWM Jatim dan Penulis Buku Jejak Kiai Ahmad Dahlan di Jawa Timur
PWMU.CO – Masjid Jami’ yang berada di sisi sebelah barat alun-alun Kabupaten Gresik tepatnya di jalan KH Wachid Hasyim itu masih menjadi pusat peribadatan yang ramai. Masjid yang merekam semangat pembaharuan di masa lampau itu menjadi tempat singgah, berteduh, dan melaksanakan aktivitas keagamaan bagi warga sekitar.
Arsitektur masjidnya masih terawat dengan baik. Polesan cat, tata letak, dan fasilitas-fasilitas masjidnya bergaya khas masjid pada zaman Wali Songo. Dari semua pernak-pernik, ada satu yang menarik, dan kelak akan memiliki cerita kebesaran sejarah yaitu bedug.
Dua bedug itu berada di lantai dua, berjejer meski berjauhan dan menghadap sebelah timur. Dua bedug ini menjadi saksi bisu saat sekumpulan remaja, selepas shalat duduk-duduk santuy disebelahnya sambil selonjoran dan disitulah inisiatif mendirikan Muhammadiyah di Kabupaten Gresik bermula.
Gejolak Remaja Masjid Jami’
Buku yang ditulis Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik yang berjudul Memori Milad Muhammadiyah Gresik mengungkapkan, awalnya 4 remaja masjid yang bernama Faqih Usman, Adnan Haji, M. Khusnan, dan Ahmad Shaleh itu berdiskusi tentang pembaharuan Islam. Mereka mendiskusikan pembaharuan yang terjadi di Surabaya maupun di Yogyakarta yang sering termuat dalam berbagai surat kabar dan juga tabligh akbar yang diselenggarakan di kota-kota tersebut.
Gejolak remaja saat berdiskusi itu bukan sekadar terjadi satu kali, melainkan berkali-kali. Suatu kali, keresahan mereka berada pada puncaknya. Mereka pun bersepakat untuk mendatangi langsung gerakan pembaharuan ke sumbernya, yakni di Yogyakarta. Dua orang perwakilan berangkat ke Yogyakarta, terdiri dari Fakih Usman dan Khusnan. Keduanya diterima langsung oleh Kiai Hisyam, Kiai Sujak, Kiai R Hajid, dan Kiai Basiran.
Setelah mendapat penjelasan dari beberapa anggota Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) Muhammadiyah, utusan dari Gresik itu disarankan untuk menemui KH Mas Mansur selaku ketua cabang Muhammadiyah Surabaya. Para utusan dari Gresik itu pun menemui KH Mas Mansur di Surabaya. Mereka mendapat sambutan yang sangat menggembirakan, bahkan KH Mas Mansur bersedia untuk datang ke Gresik memberikan pengajian.
Minta Doa Restu Kiai
Saat didatangi Tim Museum Muhammadiyah, Marindra Adnan, anak kandung dari pendiri Muhammadiyah Gresik, Adnan Haji, menceritakan bahwa menjelang berdirinya Muhammadiyah di Gresik, para remaja Gresik tersebut mendatangi beberapa Kiai di Gresik untuk meminta nasihat tentang rencana pendirian Muhammadiyah. Mereka mendatangi KH Zubair di pondoknya Kauman dan Kiai Marlikan (KH Kholil) di Pondok Blandongan.
Setelah ditemui, kedua Kiai itu merestui. “Datangnya para pendiri awal Muhammadiyah ke Kiai-kiai ini, untuk meminta restu, dukungan, dan bimbingan karena remaja masjid Jami’ ini juga murid dari Kiai-Kiai tersebut,” ceritanya.
Semangat Pembaharuan di Gresik
Menurut Mustakim dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pergerakan Muhammadiyah di Gresik tahun 1926-2003, pendiri awal Muhammadiyah Gresik itu memiliki pola pikir dan cara pandang yang berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Mereka punya cara pandang yang selangkah lebih maju daripada teman-teman pada zamannya.
Pada tahun 1926, Muhammadiyah Gresik resmi berdiri dalam wilayah Cabang Surabaya. Peresmian Muhammadiyah di Gresik itu diselenggarakan di rumah KH Abdullah Khatib, di kampung Kemuteran tepatnya di Jalan Nyai Ageng Arem-Arem. Peresmian itu dihadiri dan dilakukan sendiri oleh KH Mansur sebagai Ketua Cabang Surabaya.
Namun, Muhammadiyah di Gresik belum bisa berdiri sendiri, sebab, kedudukannya masih menjadi bagian dari Surabaya. Dalam perkembangan selanjutnya, saat Gresik sudah menjadi Kabupaten sendiri, saat itu Muhammadiyahnya pun ikut berdiri sendiri. Tidak lagi bergabung dengan Muhammadiyah Cabang Surabaya.
Rumah KH Abdullah Khatib yang berada di kampung Kemuteran, Jalan Nyai Ageng Arem-Arem itu seterusnya menjadi pusat kegiatan Muhammadiyah di Gresik.
Editor Ni’matul Faizah