Ilustrasi sekolah Vokasi, Sumber: Ikobengkulu
Artikel ini ditulis oleh dua penulis, pertama: Daniel Jesayanto Jaya, sehari-hari sebagai Mahasiswa Doktoral Pendidikan Teknologi Vokasional, Universitas Negeri Yogyakarta. Kedua: Muhamad Irfan Nurdiansyah, sehari-hari sebagai Mahasiswa Magister Manajemen Bencana, Universitas Gadjah Mada
PWMU.CO – Corona Virus Disease (Covid-19) telah berlalu, dan ini sempat menjadi trending topik di seluruh dunia. Virus Covid-19 menyerang siapapun tak pandang bulu. Keadaan ini membuat banyak aktivitas dunia terhenti. Di masa awal virus ini melanda dunia membuat banyak orang berdiam diri dan beraktivitas dari rumah. Dunia sedang disuruh istirahat oleh sang pencipta. Namun dilain sisi hal ini juga menyebabkan ekonomi dunia terganggu, berbagai macam tanggapan pemerintahan dunia, ada banyak negara panik menghadapinya, dan ada yang biasa saja dalam menghadapi virus ini.
Jika melihat dari sisi sosial, merujuk pada teori mutual trust yang dicetuskan Profesor Yoshiro Francis Fukuyama dalam buku berjudul “Trust: The Social Virtues and Creation of Prosperity” pada tahun 1995 bahwa trust didasarkan pada harapan bersama yang bertumbuh di masyarakat melalui kebiasaan, perilaku kerjasama, kejujuran, dan norma yang ada dan dilakukan masyarakat itu sendiri. Mutual trust dapat menjadi modal sosial yang mempunyai kesamaan fungsi dengan modal fisik dalam mencapai kemakmuran. Dalam praktiknya ada beberapa negara yang melakukan trust secara group oriented society seperti Jerman dan Jepang, sementara Amerika, Inggris dan Italia cenderung lebih ke arah individual oriented society.
John Dewey dalam tulisan Rojewski (2009) mengemukakan teorinya tentang pendidikan yang menyatakan bahwa individu cenderung sebagai seorang yang aktif dalam menentukan kebutuhan dan persiapan dalam hidupnya sehingga individu tidak bisa dipaksakan sembarangan mengikuti kebutuhan pasar kerja dan dunia kerja. Teori ini cukup banyak diterapkan di negara Inggris, Amerika dan Italia, sementara teori yang dicetuskan Prossers (1932) lebih banyak mengungkapkan bahwa individu itu harus mempersiapkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan harus mengikuti kebutuhan di pasar kerja dan dunia. Hal ini memang diterapkan di negara Jerman dan Jepang.
Berbicara tentang Sekolah Vokasional atau kejuruan di Indonesia. Seringkali dikaitkan dengan Sekolah Vokasional yang ada di Jerman yaitu fachschule (sekolah kejuruan teknik) yang berorientasikan kebutuhan pasar kerja dan dalam pelaksanaannya banyak berlandaskan group oriented society sehingga industri mudah diajak bekerja sama dengan sekolah atau universitas dalam pengembangan kejuruan dan pemenuhan pasar kerja dalam negerinya sesuai kompetensi kebutuhan industri. Jerman menjadi patokan berbagai negara dalam praktik pelaksanaan sekolah vokasional. Sementara negara lainnya masih berdasarkan orientasi kebutuhan pribadinya, sehingga cenderung lebih bebas menentukan masa depannya.
Jika melihat ekonomi nasional terbesar dunia, Jerman masih kalah dengan Amerika Serikat, namun yang perlu dilihat adalah daya saingnya Jerman lebih besar dari seluruh negara Eropa lainnya bahkan dengan jumlah penduduk dan wilayah yang jauh lebih kecil, dan sumber daya alam yang sedikit dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Jerman menggunakan landasan ekonomi pasar berorientasi sosial yang seimbang, sehingga tetap menjaga produktivitasnya mereka di ekonomi global. Mereka bahkan seperti kekurangan tenaga kerja, sehingga membuka program Ausbildung yang menerima imigran dari wilayah Asia terutama Asia Tenggara, dan sistemnya sama dengan program fachschule nya di tingkat menegah kejuruan di Indonesia.
Ausbildung merupakan sistem pembelajaran 3 hari di sekolah/kampus dan 3 hari di tempat kerja. Di Jerman hal ini sangat lumrah dan bisa dilakukan dengan baik. Indonesia seharusnya sanggup melakukan hal yang sama juga dan dapat diterapkan di tingkat kejuruan (SMK) serta Sekolah Tinggi Vokasional, apalagi melihat keadaan negara Indonesia di era Post-Covid-19 dimana telah terjadi banyak perubahan norma dan kebiasaan setelah Covid-19 melanda.
Pandemik kemarin menyebabkan pelajar dari seluruh tingkatan jenjang pendidikan harus belajar dan beraktivitas dari rumah, dan sekolah pun harus terbiasa dengan sistem baru ini dan mengajak para pengajar mempersiapkan bahan ajarnya dari rumah, bukankah ini sebenarnya kesempatan yang bisa dilakukan Sekolah Tinggi Vokasional dan SMK untuk mencoba sistem seperti di Jerman? Jika ingin mencoba sistem pembelajaran vokasional negara Jerman yang dapat meningkatkan kemampuan pelajar kejuruan dan vokasional maka disaat inilah waktu yang tepat untuk mencoba sistem pembelajaran jarak jauh dan menerapkan sistem dengan 3 hari di sekolah lalu 3 hari bisa dipakai di dunia kerja dan diterapkan selama mereka bersekolah.
Bukankah ini akan menambah jam pengalaman siswa di dunia industri sehingga nantinya hal ini juga bisa menekan jumlah pengangguran? Karena semua lulusan baru punya kemampuan kompetensi yang sama. Dan jika dikaji dari UU Ketenagakerjaan memang batas usia minimum pekerja adalah 18 tahun, namun remaja usia sekolah bisa dibenarkan bekerja jika merujuk pada UU No.13 tahun 2003 Pasal 69,70, dan 71 dalam konteks melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan dan pelajar dapat melakukan pekerjaan yang berguna mengembangkan bakat dan minatnya.
Dan jika menyangkut sistem pengupahan terhadap pekerja remaja, perusahaan diberikan hak sesuai Pasal 92 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Maka, biasanya upah bagi golongan pekerja usia muda ini berada di bawah pekerja biasanya. Mungkin dengan keadaan saat ini, kita boleh belajar mengikuti sistem pendidikan vokasional Jerman dengan keunikan negara kita. Dan sistem ini bisa menjadi solusi bagi pendidikan vokasional dan kejuruan di Indonesia, asal kita mau belajar menerapkan trust group oriented social, bukan berdasarkan trust individual oriented. Karena Indonesia bisa mengalami trouble dalam menghadapi puncak demografi manusia di tahun 2030-2035 jika tidak menemukan solusi menghadapi peningkatan jumlah penduduk apalagi jika penduduk usia produktif lebih banyak yang menganggur daripada yang bekerja.
Maka Pemerintah Indonesia, masyarakat, dan dunia usaha serta dunia industri harus mau bekerja sama dalam membangun sistem ini dan melihat sistem ini sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia terutama masyarakat usia produktif untuk dapat bersaing di kancah dunia. Menciptakan lulusan yang tak takut bersaing karena menjadi lulusan SMK dan Sekolah Vokasional yang dapat banyak berkontribusi dan beraksi di dunia kerja.
Editor Teguh Imami