Silviyana Angraeni (Foto: PWMU.CO)
Silviyana Anggraeni – Aliansi Penulis Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Dengan diciptakannya Hawa dari tulang rusuk Nabi Adam membuktikan bahwa segala hal tentang perempuan adalah menarik. Tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Tidak hanya di alam fana tetapi juga sampai alam akhirat. Terbukti banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa di surga kelak akan ada bidadari-bidadari. Yang mana bidadari identik dengan gender perempuan.
Salah satunya terdapat dalam surah Ar-Rahman ayat 70, yang artinya “Didalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik (akhlaknya) lagi cantik-cantik parasnya.” dan diakui atau tidak mungkin itu juga salah satu alasan para laki-laki ingin masuk surga. Yakni melihat dan menikmati keindahan bidadari yang di janjikan oleh Allah. Daya tarik publik atas sosok perempuan itulah yang membuat berbagai pihak seperti media membutuhkan, memakai dan memanfaatkan perempuan untuk kepentingannya.
Tetapi ternyata dari pihak perempuan juga demikian. Mereka menggunakan dan memanfaatkan media untuk berbagai tujuan diantaranya untuk tujuan ekonomi, popularitas, validasi, atau sekedar sebagai hiburan. Mereka rela dan bahkan bangga ketika menjadi obyek di media. Meskipun terkadang apa yang di munculkan media tidak sesuai dengan yang terjadi sebenarnya (gimmik), terkesan merendahkan, diskriminasi, dan vulgar. Atas dasar untuk saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara individu dan media, perempuan lupa akan kodrat dan rasa malunya.
Tetapi sejauh mana transaksi antar perempuan dan media itu dianggap saling menguntungkan atau dalam istilahnya simbiosis mutualisme. Sejauh mata memandang justru perempuanlah yang memberi keuntungan besar kepada media. Dengan kehadiran perempuan di dalam media, media televisi akan mendapatkan pemirsa dan rating tinggi, media surat kabar mendapatkan banyak pembaca, media youtube, facebook, instagram dan tiktok memiliki banyak like dan subscribe bahkan adsense. Tetapi sebaliknya keuntungan pada perempuan sebagai obyek tidaklah sebanyak itu, bahkan ada juga yang justru merugikan.
Media dengan leluasa memanfaatkan perempuan secara materi maupun inmateril. Artinya perempuan hanyalah sebagai obyek yang dibutuhkan untuk mencapai sebuah keuntungan. Meski sebenarnya itu adalah realitas yang memalukan juga bagi media, yakni tidak mampu menyuguhkan tontonan, informasi dan pendidikan kepada masyarakat. Mereka lambat laun menggeser paradigma media sebagai agen pencerah bagi masyarakat, menjadi agen framing demi kepentingan ekonomi. Dengan kata lain media tetaplah pemenangnya, dan perempuan hanya alat.
Sekarang ini media memiliki dua konsep utama yaitu konsep ekonomi (economical concept) dan konsep politik (political concept). Dapat dipastikan sebuah media jika tidak berada pada tujuan ekonomi berarti tujuannya adalah politik. Begitupun sebaliknya jika tidak bertujuan politik maka pasti tujuannya adalah ekonomi. Tetapi tentu akan lebih menguntungkan jika kedua konsep itu dapat dilakukan, niscaya media akan kuat.
Dalam kaitannya dengan eksploitasi perempuan, ada empat poin alasan mengapa itu terjadi. Menurut Dedi Kurnia Syah Putra dalam bukunya yang berjudul ‘Media dan Politik’ dalam bab perempuan. Poin pertama: ketika media memahami kondisi masyarakat yang kurang terdidik dan tidak memiliki kemampuan untuk memilah tontonan sehingga media dengan leluasa menyuguhkan tontonan yang berbau vulgarisme perempuan tanpa mempertimbangkan moralitas dan bersembunyi di balik kata profesionalitas. Padahal profesionalitas tanpa moralitas sama dengan penipuan pada hati nurani.
Poin kedua yaitu popularitas. Itulah alasan perempuan mau menjadi obyek media. Pemahaman soal emansipasi ala barat yang mana perempuan bebas berekspresi (vulgar) tentu tidak sesuai dengan budaya ketimuran kita. Tetapi faktanya perempuan indonesia salah dalam mengartikan emansipasi tersebut. Padahal tanpa bergaya liar dan terbuka, perempuan dapat menunjukan diri bahwa ia setara dengan laki-laki. Dan perempuan dapat populer tanpa melanggar norma dan budaya.
Poin ketiga adalah salah dalam memaknai kata profesionalitas kerja. Baik dari sisi perempuan sebagai obyek maupun media sebagai subyek. Ketika perempuan semakin berani menerima dan melakukan peran yang diminta, semakin dianggap profesionalitas. Dan bagi media, dapat menciptakan karya yang menguntungkan, semakin dianggap profesionalitas. Padahal profesionalitas itu terbatas pada cara kerja (totalitas)yang telah disepakati, tetapi masalah kontrak kerja setiap orang berhak menolak jika hal tersebut bertentangan dengan prinsip dan moralitas.
Poin keempat adalah tidak mampunya membedakan antara seni dan pornografi. Masih banyak yang mengartikan pose-pose vulgar adalah sebuah seni padahal jelas itu adalah pornografi dan porno aksi. Dan penyebaran porno aksi oleh media tersebut sebenarnya adalah tindak pelecehan terhadap martabat perempuan. Akhirnya semua perempuan dianggap sama dan murahan, terjadi pelecehan dimana-mana, banyak lahir generasi berotak mesum dan masih banyak lagi skandal-skandal yang akan terjadi.
Susah payah Rasulullah Saw mengangkat martabat perempuan hingga sekarang seluruh dunia sadar dan memperjuangkan emansipasi. Tetapi dengan mudahnya banyak pihak yang merusaknya. Perempuan dengan keindahan dan sensualitas kasih sayangnya dianggap pantas untuk direndahkan dan dilecehkan. Dengan penuh kesadaran mereka telah merusak peradaban. Seolah-olah mereka tidak lahir dari seorang perempuan.
Sebagai sesama perempuan selayaknya juga kita malu ketika ada perempuan lain di pertontonkan dalam konotasi negatif di media. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kita juga turut menikmati tontonan yang jauh dari kata syar’i tersebut. Rasa malu sudah hilang dari diri yang di tonton maupun yang menonton. Padahal salah satu ciri orang beriman adalah memiliki rasa malu. Seperti sabda Rasulullah dalam Riwayat Hadist Bukhari dan Muslim “Iman itu lebih dari 70 (tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah mengucapkan ‘La ilaha illallah’, dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.”
Sudah saatnya perempuan khususnya seorang muslimah kembali pada khittahNYA sebagai makhluk yang bermartabat dengan menjaga rasa malunya. Karena sesungguhnya kehidupan fana ini akan bermuara pada kehidupan akhirat yang kekal. Yang jika kita terlena didalamnya maka kita akan menderita difase kehidupan selanjutnya. Dan sesungguhnya sebagai seorang perempuan untuk bahagia di kehidupan akhirat itu sangatlah mudah. Karena perempuan dipersilahkan untuk memilih pintu surga tanpa melakukan sesuatu yang heroik selagi dapat menjaga empat perkara seperti kata Abdurrahman bin Auf RA mengutip sabda Rasulullah SAW dalam Hadist Riwayat Ahmad “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.”
Editor Teguh Imami