PWMU.CO – Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur menyampaikan kekecewaan atas keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang bakal menerima izin pengelolaan tambang. Meski, keputusan resmi baru disampaikan seusai konsolidasi nasional pada 27-28 Juli di Yogyakarta.
Hal itu muncul dari kajian bertema “Menyoal Izin Usaha Tambang Perspektif Agama dan Lingkungan” yang diadakan Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur (PWNA Jatim). Kajian yang diprakarsai oleh Departemen Dakwah serta Departemen Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LHPB) tersebut digelar Jumat (27/7/2024) malam secara daring.
Zahrotul Jannah, ketua yang membidangi LHPB PWNA Jatim, menceritakan kesaksiannya sebagai warga Banyuwangi yang hidup berdekatan dengan lokasi penambangan terbesar kedua setelah Freeport.
“Sangat sulit mendapatkan air bersih di sana,” ungkapnya.
Erfin Walida, ketua yang membidangi dakwah, pun menyatakan bahwa keputusan PP Muhammadiyah kali ini mencederai keputusan Muktamar Ke-48, khususnya Risalah Islam Berkemajuan halaman 75-76 yang bunyinya sebagai berikut:
“Muhammadiyah berupaya secara sungguh-sungguh mengajak masyarakat dunia untuk menyerukan dan mengawal berbagai regulasi yang dapat membahayakan lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim. Pada aspek praktis, warga Muhammadiyah di berbagai lapisan telah dan akan tetap terlibat aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan, baik secara individu melalui gaya hidup yang pro-ekologis, maupun secara kolektif dengan, misalnya, implementasi sekolah dan kampus hijau, sedekah sampah, sekolah kader lingkungan (daratan, sungai, dan laut), pembangunan kawasan penyejuk bumi, gerakan audit lingkungan mandiri, dan pengembangan energi baru dan terbarukan. Melalui pelestarian lingkungan dan pengendalian perubahan iklim, Muhammadiyah turut berkiprah bagi terwujudnya masyarakat dunia yang lebih tenteram dan beradab.”
Pertambangan dalam Perspektif Agama dan Lingkungan
Kajian ini menghadirkan AS Rosyid yang menyoal tambang perspektif agama dan Herni Ramdlaningrum yang membahas dari perspektif lingkungan.
Herni, salah satu peneliti dan program manager The Prakarsa, menjelaskan bahwa perempuan menjadi yang pertama terdampak. Mereka sering berinteraksi dengan air.
“Kegiatan memasak, mencuci, memandikan anak, semua itu membutuhkan air,” jelasnya.
Terkait isu hak mengelola tambang untuk ormas keagamaan, Herni menegaskan terkait dampak yang muncul sebagaimana data yang ada di lapangan. Sebanyak 80 persen kawasan yang terdampak pertambangan berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung kemiskinan.
“Bagaimana Muhammadiyah mengambil tindakan tanpa menimbang pendapat Aisyiyah atau NA menunjukkan bagaimana patriarkisme pada pertambangan,” urai Herni.
Sementara itu, AS Rosyid menjelaskan duduk permasalahan tambang. Dia memulai dengan penjelasan tentang sunah individual dan sunah komunitas. Juga tentang sunah lingkungan hidup yang mencakup sunah individu dan komunitas sekaligus.
“Contoh, sunah lingkungan individual nabi adalah teladan nabi untuk jangan boros (ishraf) dalam penggunaan apa pun. Yang jarang dikulik adalah sunah lingkungan hidup yang mencakup komunitas. Resiko tinggi karena berhadapan dengan penguasa dan cukong,” ungkapnya.
Rosyid pun menjelaskan beberapa prinsip sebelum memutuskan mengelola tambang. Pertama, prinsip demokratisasi.
“Energi bukan milik pribadi, tapi milik bersama. Air dalam sumur yang kita gali memang milik kita. Tapi, kearifan lokalnya kita jangan nutup sumur. Juga perlu diingat bahwa yang mengelola haruslah warga lokal dengan kearifan lokal,” lanjut penulis buku Melawan Nafsu Merusak Bumi itu.
Prinsip kedua, anti-eksploitasi. Menurutnya, ayat atau hadis yang menyebutkan jangan merusak bumi bukan hanya tentang larangan orang membakar hutan saja. Tapi ada konteks syahwat ekonomi di dalamnya.
“Ayat 11-12 al-Baqarah jelas mengatakan bahwa mereka yang merusak bumi tidaklah merasa berbuat kerusakan. Allah jelas membantah kalau itu adalah kerusakan, namun kamu tidak sadar,” jelas pria asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, itu.
Salah satu peserta menyampaikan, bukankah keputusan PP Muhammadiyah sudah melalui bahtsul masail para ahli dan ulama.
Rosyid pun menimpali dengan kritik Thariq Ramadan. Menurut Thariq, terdapat dikotomi antara ulama nushus atau ahli teks keagamaan dan ulama nonteks seperti profesor.
“Ijtihad apa pun harus duduk bersama antara ulama teks dan nonteks,” lanjut aktivis lingkungan itu.
Erfin Walida yang juga sebagai moderator malam itu menegaskan bahwa apa pun keputusan PP Muhammadiyah terkait tambang, Nasyiah Jatim tetap akan responsif terhadap isu lingkungan sebagaimana yang telah dilakukan selama ini.
“Semua akan tambang pada waktunya, sebagaimana postingan AS Rosyid. Tapi, kita semua harus tetap kritis jika kemudaratan ternyata tampak di tengah pengelolaan tambang nantinya,” ucapnya. (*)
Penulis Achmad San Editor Wildan Nanda Rahmatullah