M. Ainul Yaqin
M. Ainul Yaqin Ahsan – MTT PDM Lamongan, Pengasuh di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang baru-baru ini disahkan menjadi sorotan utama dalam perbincangan publik, terutama Pasal 103 yang memicu kontroversi terkait dengan pemberian alat kontrasepsi bagi pelajar. Dalam konteks ini, banyak pihak mempertanyakan apakah kebijakan tersebut benar-benar melindungi generasi muda atau justru memberikan dampak negatif yang merusak.
Kebijakan dan Tujuan Kesehatan Reproduksi
Pasal 103 dari peraturan tersebut menyebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja harus meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Pelayanan kesehatan ini mencakup deteksi dini penyakit, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi. Fokus utama kritik tertuju pada poin terakhir, yaitu penyediaan alat kontrasepsi kepada pelajar.
Dalam konteks pendidikan kesehatan reproduksi, penting untuk memberikan pengetahuan yang tepat kepada pelajar mengenai kesehatan dan fungsi organ reproduksi. Tujuan ini tentu mulia, yaitu untuk melindungi generasi muda dari penyakit menular seksual (PMS) dan kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, penyediaan alat kontrasepsi kepada pelajar menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah langkah ini benar-benar sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia?
Kontradiksi dengan Tujuan Pendidikan
Jika kita melihat kembali tujuan pendidikan nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan bertujuan untuk membangun kekuatan spiritual, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Pendidikan diharapkan tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga membentuk karakter yang kuat dan bermoral. Dalam hal ini, kebijakan penyediaan alat kontrasepsi kepada pelajar tampak bertentangan dengan nilai-nilai yang ingin dibangun oleh sistem pendidikan nasional.
Logika yang digunakan dalam kebijakan ini mungkin didasarkan pada asumsi bahwa memberikan alat kontrasepsi kepada pelajar dapat mencegah penyebaran PMS dan kehamilan remaja. Namun, apakah ini cara yang benar? Mengapa negara memilih untuk menyediakan alat kontrasepsi alih-alih memperkuat pendidikan moral dan spiritual yang dapat mencegah perilaku seksual berisiko sejak awal? Apakah dengan menyediakan alat kontrasepsi, negara secara tidak langsung mengakui dan menerima bahwa hubungan seksual di kalangan pelajar adalah hal yang wajar dan perlu difasilitasi?
Dampak Sosial dan Moral
Kebijakan ini juga perlu ditinjau dari perspektif sosial dan moral. Indonesia dikenal dengan nilai-nilai ketimuran yang kuat, di mana perilaku seksual di luar pernikahan dianggap sebagai pelanggaran norma sosial dan agama. Dengan memberikan akses alat kontrasepsi kepada pelajar, negara seolah-olah memberikan lampu hijau untuk perilaku yang seharusnya dicegah.
Lebih jauh lagi, Islam sebagai agama yang menjadi pedoman bagi mayoritas masyarakat Indonesia, memberikan perhatian besar terhadap kemurnian dan kehormatan. Dalam Al-Quran, Allah SWT dengan tegas melarang zina, sebuah perbuatan yang merusak moral dan nilai-nilai keagamaan. Allah SWT berfirman:
“وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰٓ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةًۭ وَسَآءَ سَبِيلًا”
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
(QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini menegaskan bahwa bukan hanya perbuatan zina yang dilarang, tetapi segala sesuatu yang mendekatkan kepada zina juga harus dihindari. Dengan demikian, penyediaan alat kontrasepsi kepada pelajar, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai langkah pencegahan, dapat diartikan sebagai bentuk pengesahan tidak langsung terhadap perilaku yang dilarang oleh agama. Ini tentu saja bertentangan dengan tujuan pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pendidikan Nasional, yang menekankan pembentukan karakter berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Solusi yang Lebih Tepat
Daripada memberikan alat kontrasepsi kepada pelajar, seharusnya negara lebih fokus pada pendidikan yang memperkuat moral dan spiritualitas. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi memang penting, tetapi harus disertai dengan pendidikan moral yang kuat agar pelajar memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Selain itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membatasi akses terhadap konten pornografi yang dapat merusak moral generasi muda.
Pemerintah juga harus lebih aktif dalam membangun lingkungan yang mendukung pertumbuhan moral generasi muda. Misalnya, dengan meningkatkan peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam mendidik anak-anak tentang nilai-nilai moral dan agama. Hal ini bisa dilakukan melalui program-program edukatif yang melibatkan orang tua, guru, dan pemimpin masyarakat.
Penyediaan alat kontrasepsi kepada pelajar, seperti yang diatur dalam Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, menimbulkan kekhawatiran serius mengenai dampaknya terhadap moral dan masa depan generasi muda Indonesia. Meskipun tujuannya mungkin untuk melindungi pelajar dari risiko kesehatan, langkah ini berpotensi merusak nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan ulang terhadap kebijakan ini. Pendidikan yang mengutamakan moralitas dan spiritualitas harus menjadi prioritas utama dalam upaya membentuk generasi emas yang diharapkan mampu memajukan bangsa.
Editor Teguh Imami