Larangan Jilbab bagi Paskibraka, Ancaman bagi Kebebasan Beragama dan Keadilan: Oleh Alfain Jalaluddin Ramadlan (Ketua RPK PC IMM Lamongan)
PWMU.CO – Isu pelarangan jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) putri Nasional 2024 menjadi polemik yang memicu perdebatan di tengah masyarakat.
Polemik ini bermula ketika 18 anggota Paskibraka putri yang mengenakan jilbab saat pengukuhan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, pada Selasa (13/8/2024) harus melepas jilbab mereka.
Keputusan ini disebut-sebut sebagai bagian dari aturan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Sikap Tampang Paskibraka.
Aturan tersebut menetapkan standar pakaian bagi anggota Paskibraka dalam dua momen penting, yaitu saat pengukuhan dan pelaksanaan tugas pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan.
Meskipun jilbab hanya dilarang saat kedua momen tersebut, kebijakan ini tetap menimbulkan kekecewaan dan luka di hati umat Islam, khususnya saya sebagai penulis dan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Kebebasan beragama dan hak untuk berbusana sesuai keyakinan adalah hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Pelarangan jilbab, jika benar-benar diberlakukan, adalah bentuk diskriminasi yang tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Pertama, tetapi juga berpotensi merusak keharmonisan sosial dan mengancam integritas moral bangsa.
Sebagai seorang Muslim, saya merasa sangat prihatin dengan kebijakan ini. Jilbab bukan sekadar busana, tetapi merupakan bagian dari kewajiban agama bagi wanita Muslimah. Tentu, larangan berjilbab bagi anggota Paskibraka adalah tindakan yang tidak Pancasilais dan melanggar hak asasi manusia.
Dalam Islam, jilbab adalah pakaian yang menutupi kepala hingga badan, sebagai bentuk perlindungan dan kesucian diri. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 59, Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs al-Ahzab: 59).
Dalam buku Wanita, Jilbab dan Akhlak karya Halim Setiawan, dijelaskan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Membuka aurat kepada yang bukan mahram adalah dosa, dan menutup aurat, termasuk dengan mengenakan jilbab, adalah kewajiban yang sama pentingnya dengan shalat, puasa, dan zakat.
Menyikapi situasi ini, saya berharap agar kebijakan yang merugikan hak-hak asasi manusia ini segera ditinjau ulang dan dihentikan. Indonesia, sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, harus menjadi teladan dalam menghormati dan melindungi hak-hak semua warganya tanpa terkecuali.
Pada akhirnya, kontroversi ini bukan hanya tentang sebuah aturan yang mungkin diberlakukan, tetapi tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, menjaga dan menghidupkan nilai-nilai yang menjadi dasar negara ini.
Pancasila bukan sekadar simbol, tetapi harus menjadi pedoman hidup yang nyata dalam setiap kebijakan dan tindakan kita. Pelarangan jilbab, jika benar terjadi, adalah langkah mundur yang tidak boleh kita biarkan terjadi di negeri ini. (*)
Editor Azrohal Hasan