PWMU.CO – Jika kita melihat trafik kendaraan di Jakarta atau Surabaya, kita akan merasakan jalan macet ketika pagi atau sore hari. Tapi ini tidak terjadi di Kota dengan 37 juta penduduk.
Negara sebagai produsen kendaraan dengan berbagai brand besar di dunia seperti Honda, Yamaha, Suzuki, Toyota, Daihatsu, Mitshubishi, Mazda atau mungkin masih ada yang belum saya sebut, tidak berbanding lurus dengan peredaran atau kepemilikan kendaraan warganya. Setiap jam berangkat kerja maupun pulang kerja, beberapa jalanan di Tokyo terlihat longgar.
Banyaknya syarat untuk memiliki kendaraan mungkin menjadi salah satu alasan. Setiap warga yang ingin membeli kendaraan, dia harus menyiapkan slip gaji penghasilan, mempunyai garasi sendiri dan terkait biaya langganan parkir di Tokyo yang mahal.
Taki Kitada, kawan saya dari Jepang menuturkan bahwa biaya sewa garasi parkir di Tokyo sekitar 50.000 Yen atau sekitar 5 jutaan lebih. Belum lagi di tempat-tempat parkir yang lain, mobil yang diparkir akan dikenai biaya sebesar 100 Yen atau Rp 11.500 per 15 hingga 30 menit.
Di daerah perkotaan, tempat wisata, restoran, atau fasilitas perbelanjaan, tarif parkir akan lebih mahal lagi, yakni 1.000 Yen atau sekitar Rp 115.000 per jam. Tak hanya mobil, kendaraan roda dua, termasuk sepeda juga harus parkir di area tertentu jika tak mau diderek.
Ada garasi parkir untuk sepeda yang bisa digunakan dengan membayar sekitar 100 Yen (Rp 11.500) atau 150 Yen (Rp 17.250) per hari. Aturan parkir yang ketat membuat warga enggan memiliki kendaraan pribadi.
Keramaian di Bawah Tanah
Jalanan sepi tapi ramai penduduk di bawah tanah. Banyak stasiun kereta bawah tanah yang padat penumpang untuk mobilitas sehari-hari. Dengan banyaknya stasiun yang terintegrasi dengan berbagai rute kereta dan bis umum, memudahkan masyarakat dalam mobilitas sehari-hari.
Aturan yang ketat dan memberatkan, membuat masyarakat enggan memiliki kendaraan pribadi. Ini juga mendorong mereka untuk memanfaatkan transportasi publik yang memang memadai dan menjangkau setiap sudut Tokyo.
Rute kereta yang cukup banyak membuat masyarakat aktif berjalan kaki karena rata-rata paling jauh 1 KM tempat tujuan mereka bisa dijangkau dari stasiun kereta terdekat. Dengan jadwal kereta yang hanya selisih 5 menit dari kereta sebelumnya membuat saya dan rombongan pun memilih kereta sebagai transportasi utama kemanapun kita akan pergi mengelilingi kota Tokyo.
Wisata Jalan Kaki
Jalan menjadi wisata ikonik, menjadi ciri khas Kota Tokyo. Persimpangan terkenal Shibuya, Shinjuku dan Harajuku menjadi destinasi wajib wisatawan yang berkunjung ke Tokyo. Wisata jalan kaki menjadi keunggulan Tokyo dengan deretan pertokoan. Mulai toko yang menjual kebutuhan sehari-hari, hingga jajaran toko dengan brand ternama dunia.
Semua berjajar rapi memanjakan wisatawan sekaligus pejalan kaki yang haus berbelanja. Termasuk saya yang kemudian juga tertarik membeli berbagai mainan dan souvenir di Shibuya dan Shinjuku. Sedang di Harajuku selain berjalan kaki, wisatawan juga dapat mencoba Street Go-Kart. Mungkin karena jalan rayanya sepi, jadi wisata ini bisa dinikmati di Harajuku.
Pengunjung bisa menyewa Go-Kart untuk berkeliling sekitar wilayah Harajuku. Namun, mengkhawatirkan jika memacu Go-Kart di jalan raya yang sepi kendaraan, tapi ramai pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan.
Pengalaman ini saya dapatkan ketika awal bulan Agustus berkesempatan mengunjungi Kota Tokyo bersama rombongan Kemendagri, Bappenas, MenPAN-RB, Pemkot Surabaya, Pemkab Sinjai, dan Alterasi Indonesia dalam kegiatan belajar pelaksanaan program review di Jepang. Kegiatan ini atas undangan langsung Koso Nippon, sebuah NGO Jepang yang fokus mempromosikan Program Review di Indonesia. (*)
Penulis Azrohal Hasan Editor Wildan Nanda Rahmatullah