Silviyana Anggraeni (Foto: PWMU)
Silviyana Anggraeni – Pegiat Literasi APIMU
PWMU.CO – Lagi dan lagi, ada saja pemberitaan soal kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah beserta perangkat-perangkatnya yang membuat kita mengernyitkan dahi. Belum selesai kepala ini geleng-geleng atas peraturan pemerintah soal penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja, sekarang kita dipancing lagi untuk berdecak tak habis pikir oleh pemberitaan 18 muslimah anggota paskibraka 2024 tidak memakai hijab, padahal sebelumnya mereka memakai hijab.
Itu terlihat dari foto pengukuhan 76 anggota paskibraka nasional oleh presiden jokowi pada 13 agustus 2024 di Ibu Kota Nusantara (IKN). Dimana dalam foto tersebut tidak ada satupun anggota paskibraka muslimah yang memakai hijab. Jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, banyak yang mengenakan hijab.
Konon katanya, tidak adanya satupun anggota paskibraka muslimah yang mengenakan hijab lantaran dalam rangka mentaati peraturan yang telah dibuat oleh pembuat kebijakan, dalam hal ini adalah BPIP. BPIP sendiri memang baru sejak tahun 2022 ini menerima kewenangan atas paskibraka, setelah sebelumnya diurus oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Bahkan Menpora Dito Ariotedjo dan ketua pengurus pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Gousta Feriza ikut mengkritisi peraturan larangan berhijab tersebut. Juga presiden jokowi melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan agar mengupayakan peraturan yang diterapkan sebaiknya menghormati keyakinan setiap individu, namun presiden juga tidak mau terlibat terlalu jauh.
Soal syariat beragama memang sangat sensitif, tak khayal surat keputusan nomor 35 tahun 2024 tentang standar pakaian, atribut dan sikap tampang pasukan pengibar bendera pusaka yang di terbitkan oleh kepala BPIP Yudian Wahyudi pada 1 Juli 2024 menuai polemik dan penolakan dari berbagai kalangan khususnya masyarakat islam dan organisasi keagamaan. Beberapa diantaranya dari Pimpinan Pusat Aisyiyah, Salmah Orbayinah yang mengatakan dalam flyer nya “Aturan larangan mengenakan jilbab pada petugas paskibraka sangat tidak manusiawi, melanggar pancasila sila ke 1 dan 3, melanggar kebhinekaan, melanggar kebebasan beragama dan melanggar HAM.
Memakai jilbab adalah salah satu bentuk pelaksanaan beragama yang harus dijamin kebebasannya. BPIP sebagai Badan Pembina Ideologi Pancasila seharusnya memahami bahwa pancasila menjunjung tinggi keberagaman dalam keragaman. Tidak seharusnya BPIP membuat gaduh dan heboh.”.
Senada dengan Aisyiyah, PBNU melalui Ahmad Fahrur ketua bidang keagamaan juga demikian. Ahmad Fahrur mengatakan aturan larangan jilbab untuk paskibraka nasional 2024 harus direvisi. Begitu juga dengan ketua MUI bidang dakwah dan ukhuwah KH. M. Cholil Nafis berpendapat larangan penggunaan jilbab bagi paskibraka muslimah adalah kebijakan yang tidak pancasilais.
Dilain sisi ketua BPIP Yudian Wahyudi menolak untuk di cap intoleran, dan berdalih bahwa anggota pasukan paskibraka khususnya muslimah dengan sukarela melepas jilbab karena mentaati peraturan dilengkapi dengan surat pernyataan yang di tandatangani diatas materai. Padahal secara kasat mata tindakan BPIP tersebut, apalagi dipersenjatai surat pernyataan adalah bagian dari pemaksaan.
Sebelum haru hara soal larangan jilbab paskibraka, Yudian Wahyudi tercatat pernah membuat beberapa kontroversi, diantaranya saat menjabat sebagai rektor UIN sunan kalijaga, yogjakarta, Yudian melarang pemakaian cadar kepada mahasiswinya. Pernah mengatakan “agama musuh besar pancasila”. Dan mengadakan lomba dengan tema “Hormat Bendera Menurut Agama Islam”. Dari deretan kontroversi tersebut, seolah-olah, Yudian secara pribadi dan BPIP sebagai lembaga yang dipimpinnya ingin menghadapkan ideologi pancasila dengan syariat islam. Seolah-olah syariat islam bertentangan dengan dasar negara pancasila.
Atau lebih ekstrim lagi, Yudian ingin menggeser paradigma keislaman dalam kehidupan bernegara. Padahal pancasila lahir dari pemikiran-pemikiran orang muslim. Dan berkat jiwa nasionalisme pejuang dan pemikir muslim terdahulu itulah, empat agama lainnya (kristen, hindu, budha, konghucu) dapat hidup aman di negara ini.
Kalau pada kasus sebelumnya, presiden sudah pasti tahu dengan penerbitan peraturan pemerintah. Dalam kasus larangan berjilbab sekarang apa mungkin presiden tidak tahu. Bukankah staf dan pembisik presiden itu banyak dan juga orang-orang yang cerdas. Ditambah sikap presiden yang menurut staf kepresidenan Moeldoko, presiden tidak mau terlibat terlalu jauh. Jawaban itu seperti bukan jawaban seorang pemimpin seharusnya. Bahkan terkesan mendukung dan menikmati sensasi yang dibuat BPIP.
Terakhir adalah soal adik-adik pasukan paskibraka, memang benar setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih dan mengambil resikonya sendiri. Apalagi dengan masuknya kalian menjadi bagian dari paskibraka nasional 2024, sudah membuktikan kalian adalah orang-orang pilihan, yang tidak hanya sehat raganya, tetapi juga jiwa dan rohaninya.
Maka dari itu pilihan melepas hijab harusnya didasari pertimbangan matang, dengan kacamata yang luas dan tentu berlandaskan hukum Allah Swt. Jangan sampai keputusan itu hanya berlandaskan nafsu keduniawian saja. Karena hakikatnya berhijab adalah perintah dari Allah kepada kaum perempuan melalui Rasulullah “Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,’ yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Ahzab: 59). Artinya, jangan mengambil resiko dengan mengorbankan sesuatu yang prinsipil sebagai muslimah, untuk sesuatu yang sifatnya hanya momentum tahunan.
Editor Teguh Imami