M. Ainul Yaqin Ahsan
M. Ainul Yaqin Ahsan – Anggota MTT PDM Lamongan
PWMU.CO – Di Indonesia, pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang menopang berbagai sektor, termasuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan kondisi di mana mayoritas APBN berasal dari pajak, muncul pertanyaan penting: apakah gaji PNS yang berasal dari APBN yang didominasi oleh pajak tersebut halal menurut perspektif Islam?
Pajak dalam perspektif Islam memiliki posisi yang kompleks. Dalam sejarah Islam klasik, pajak (mukus) sering kali dianggap sebagai bentuk pungutan yang tidak adil dan memberatkan, dan karenanya banyak ulama klasik yang mengharamkan pajak jika diambil tanpa dasar syariah yang jelas. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya para pengambil pajak (mukus) berada di neraka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Hadis ini sering dijadikan rujukan untuk menolak praktik pemungutan pajak yang tidak sah. Namun, penting untuk memahami bahwa konteks hadis ini lebih mengarah pada pajak yang diambil secara zalim dan tanpa keadilan, berbeda dengan konsep pajak dalam negara modern yang diatur secara hukum dan bertujuan untuk kemaslahatan umum.
Data Pendapatan APBN Indonesia
Pada tahun 2023, pendapatan APBN Indonesia diproyeksikan mencapai Rp2.463 triliun. Dari jumlah ini, sekitar 70% berasal dari pajak, sementara sisanya berasal dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti retribusi, keuntungan BUMN, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa meskipun pajak merupakan sumber pendapatan terbesar, negara juga mengandalkan sumber pendapatan lain yang tidak kalah penting.
Gaji PNS dari Pajak: Perspektif Syariah
Kaidah fiqih “إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْأَكْثَرُ حُكْمًا” yang artinya “Apabila yang halal dan haram bercampur, maka yang paling dominan jumlahnya yang diambil hukumnya” dapat diterapkan dalam konteks gaji PNS yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mengingat bahwa sebagian besar dana APBN berasal dari pemungutan pajak, yang menurut sebagian pandangan dalam syariat Islam dianggap tidak sesuai atau haram, maka perlu ada pertimbangan yang mendalam berdasarkan kaidah fiqih ini.
Dalam situasi di mana sumber dana APBN bercampur antara yang halal (misalnya, pendapatan dari retribusi, hasil keuntungan BUMN, dan sumber-sumber pendapatan negara yang diperbolehkan oleh syariat) dan yang dianggap haram (seperti pajak yang tidak dibenarkan), kaidah fiqih ini menyarankan untuk melihat mana yang lebih dominan.
1. Jika mayoritas dana yang digunakan untuk membayar gaji PNS berasal dari sumber yang halal, maka berdasarkan kaidah ini, gaji yang diterima bisa dianggap halal. Artinya, meskipun ada elemen haram dalam campuran sumber dana tersebut, karena mayoritasnya berasal dari sumber yang halal, hukumnya mengikuti yang halal.
2. Jika mayoritas dana yang digunakan berasal dari sumber yang dianggap haram, maka terdapat kekhawatiran bahwa gaji tersebut juga bisa dianggap tidak sepenuhnya bersih dari keharaman. Namun, penting untuk mencatat bahwa ulama sering kali memberikan kelonggaran dalam kondisi seperti ini, terutama jika tidak ada alternatif lain yang jelas untuk menjaga kelangsungan hidup seorang pegawai negeri dalam negara modern seperti Indonesia.
Ulama seperti Imam Nawawi menyebutkan bahwa pengambilan pajak bisa diperbolehkan dalam keadaan darurat, di mana negara benar-benar membutuhkan dana untuk operasional dan seluruh pejabat negara telah mengorbankan harta pribadi mereka demi kelangsungan negara. Namun, dalam praktik modern, pajak menjadi sumber utama pendapatan negara tanpa adanya alternatif lain yang memadai.
Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Pajak
Ulama kontemporer memiliki pandangan yang lebih kontekstual mengenai pajak dalam negara modern. Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya “Fiqh al-Zakat,” berpendapat bahwa pajak dapat diperbolehkan jika diambil dengan cara yang adil dan digunakan untuk kemaslahatan umum. Pajak dalam hal ini dianggap sebagai kontribusi warga negara untuk kepentingan bersama, terutama ketika dana dari zakat dan sumber lain tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan negara.
Syaikh Wahbah al-Zuhaili juga mengakui keberadaan pajak dalam sistem pemerintahan modern, dengan catatan bahwa pajak harus dipungut secara adil dan transparan, serta digunakan untuk tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan..
Keberkahan dalam Pendapatan Negara
Meskipun pajak menjadi sumber utama pendapatan negara, ada kekhawatiran di kalangan Muslim tentang keberkahan dari pendapatan yang bersumber dari pajak, terutama jika pajak tersebut berasal dari sektor yang dianggap haram, seperti pajak dari industri hiburan malam atau minuman keras. Namun, ulama memperbolehkan penggunaan dana dari pajak yang bercampur dengan sumber haram untuk kebutuhan fasilitas umum (fasum) seperti jalan raya, jembatan, dan lain-lain, selama dana tersebut tidak digunakan untuk keperluan ibadah yang suci.
Dalam kondisi ini, bagi PNS yang bekerja dan menerima gaji dari APBN, yang penting adalah niat dan usaha untuk berkontribusi kepada masyarakat. Jika gaji yang diterima digunakan untuk kebaikan, seperti membangun keluarga, membantu sesama, dan mendukung aktivitas yang bermanfaat, maka keberkahan dapat diraih, meskipun sumber dana tersebut bercampur dengan unsur yang dipertanyakan.
PNS dan masyarakat umum perlu menyikapi isu ini dengan bijaksana, memahami bahwa dalam konteks negara modern, pajak adalah sumber pendapatan yang penting untuk mendukung keberlangsungan negara dan kesejahteraan rakyat. Dengan niat yang baik dan penggunaan gaji untuk tujuan yang baik, insyaAllah keberkahan akan tetap menyertai rezeki yang diterima.
Akhirnya, umat Islam dianjurkan untuk selalu berdoa kepada Allah SWT agar diberi petunjuk dan dilimpahi rezeki yang halal dan berkah. Seiring dengan itu, penting bagi umat untuk terus berpartisipasi aktif dalam proses politik dan sosial, sehingga dapat memperjuangkan sistem yang lebih adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Editor Teguh Imami