Foto bersama dalam International Sharing Session UMM bersama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pada Jumat (30/8/2024). (Hassanal Wildan/PWMU.CO).
PWMU.CO – Bersama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LP3A) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar diskusi penting terkait edukasi hukum untuk anak.
Hal itu tak lepas dari upaya pencegahan dan edukasi agar anak-anak tidak terjerumus dan melakukan pelanggaran hukum maupun menjadi korban. Agenda yang berlangsung pada Jumat (30/8/2024) itu diikuti ratusan peserta dari masyarakat umum, lembaga otonom Muhammadiyah, NA, dan sivitas akademika sejumlah kampus lain.
Beda Hukum Indonesia dan Malaysia
Dosen dari UKM Nurul Hidayat AB. Rahman PhD menjadi pemateri pertama. Ia menjelaskan terkait pendidikan undang-undang untuk anak-anak demi mencapai prinsip kelestarian. Termasuk tentang kondisi dan kebijakan hukum pidana anak-anak di Malaysia.
Dalam penjelasannya, kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak bukan hal baru di Malaysia, terutama mereka yang berusia 10-12 tahun. Ada yang terjadi di aspek kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga pemerkosaan.
“Hukuman atau sanksinya sesuai kebijakan kerajaan, bahkan bisa sampai hukuman seumur hidup. Adapun saat ini, anak-anak di Malaysia diperkenankan mendapat edukasi mengenai UU dan hukum” terang Nurul.
“Anak-anak mempunyai hak untuk mengetahui UU dan mendapatkan ilmu tentang hukum. Hal ini agar mereka dapat mengetahui apa saja yang tidak boleh dan boleh dilakukan” terangnya.
Di sisi lain, Dosen Hukum UMM Ratri Novita Erdianti SH MH menjelaskan mengenai perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia. Menurutnya, kondisi hukum antara Malaysia dan Indonesia jauh berbeda.
Misalnya saja di Indonesia, anak bisa mendapatkan hukum pidana pada usia 14-18 tahun. Ia juga menyoroti mengenai sanksi atau hukuman pidana anak di Indonesia lebih ringan, setengah dari hukuman orang dewasa.
Di Indonesia, terdapat beberapa UU sebagai payung hukum perlindungan anak. Contohnya UU Nomor 17 tahun 2016, UU Nomor 35 tahun 2014, hingga UU Nomor 4 Tahun 2024.
Peran Keluarga dan Pendidikan
Namun pada realitanya, tidak sedikit kasus pidana yang melibatkan anak pada 2023 lalu. Ia juga menyoroti kasus 5,5 juta anak menjadi korban pornografi dari hasil negatif bermain gadget. Didukung dengan faktor-faktor lainnya seperti ekonomi, pergaulan, lingkungan, dan keluarga.
“Untuk itu, para orangtua, lingkungan, dan guru harus bisa bersinergi. Ini menjadi upaya kita untuk mencegah hal-hal negatif dan kejahatan” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, turut hadir Rektor UMM Prof Dr Nazaruddin Malik MSi. Ia menggarisbawahi pentingnya peran keluarga dan pendidikan. Bagaimana keduanya bisa menjadi senjata dalam menghadapi peradaban yang semakin modern.
Di waktu yang sama, Muhammadiyah hadir dan berupaya menciptakan sekolah unggul sekaligus inklusif agar bisa memberikan manfaat bagi masyarakat.
Nazar menilai, inklusivitas merupakan aspek penting dalam membangun ilmuwan untuk berpikir, termasuk pada level anak-anak. Mereka akan bisa merasakan rasa tanggung jawab dan menghindari hal-hal yang berhadapan dengan hukum.
“Semoga agenda ini tidak hanya berhenti pada tahap diskusi saja, tapi benar-benar ada aksi secara sosial” terangnya.
“Terimakasih untuk kesempatan yang diberikan mudah-mudahan bapak ibu mendapat berkah pengetahuan dan keinginan untuk terus melakukan aksi pada kemanusiaan. Dengan begitu turut membantu menurunkan kecenderungan perilaku anak yang berhadapan dengan hukum” pungkasnya. (*)
Penulis Hassanal Wildan‘, Editor Danar Trivasya Fikri