Nashrul Mu’minin (Foto: PWMU.CO)
Nashrul Mu’minin – Mahasiswa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dan Jurnalis Kompas
PWMU.CO – Pernyataan terbaru terkait Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. terkait tidak adanya permintaan resmi barter tahanan dari Indonesia untuk imbalan penangkapan Alice Guo adalah cerminan penting dari diplomasi internasional yang matang. Keputusan ini menunjukkan kemandirian Filipina dan Indonesia dalam urusan hukumnya tanpa ada campur tangan yang tidak sesuai dengan norma internasional. Ini menjadi pelajaran penting bagi kita, sebagai bangsa yang besar, bahwa dalam menjalankan diplomasi, integritas hukum harus tetap dijunjung tinggi.
Dalam konteks Muhammadiyah, kasus ini mengajarkan pentingnya menjaga integritas dan kemandirian dalam menyelesaikan masalah, baik dalam konteks internasional maupun domestik. Muhammadiyah, sebagai organisasi yang seringkali terlibat dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan kebudayaan, perlu terus menjaga prinsip-prinsip keadilan dan kemandirian dalam setiap program dan kerja sama yang dijalankan, termasuk dalam lingkup internasional.
Etika dalam Kasus Barter Tahanan
Dalam berita yang dilaporkan oleh *Liputan6*, Presiden Marcos Jr. dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada permintaan resmi dari Indonesia untuk melakukan barter tahanan sebagai imbalan penangkapan Alice Guo, seorang buronan internasional. Kasus ini membuka diskusi mengenai bagaimana hubungan antar negara dalam menyelesaikan masalah hukum, terutama terkait pertukaran tahanan yang sering kali menjadi bahan perundingan dalam diplomasi.
Barter tahanan atau pertukaran tahanan merupakan salah satu mekanisme diplomasi yang sah. Namun, hal ini harus dilakukan dengan dasar hukum yang kuat dan tidak melanggar prinsip keadilan. Dalam kasus ini, Filipina menunjukkan sikap yang patut dihormati, yaitu tidak melakukan barter tanpa adanya permintaan resmi dari pihak Indonesia. Ini mencerminkan bahwa kedua negara menghormati kedaulatan hukum masing-masing.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُواالْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا ۚ وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
(QS An-Nisa: 135)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Ayat ini mengajarkan kita pentingnya menegakkan keadilan, bahkan dalam kasus yang melibatkan dua negara yang bersahabat seperti Indonesia dan Filipina. Setiap negara harus menghormati proses hukum yang berlaku, tanpa ada intervensi yang tidak berlandaskan keadilan.
Relevansi bagi Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah, kasus ini bisa dijadikan bahan refleksi tentang bagaimana organisasi ini bisa terus terlibat dalam diplomasi budaya dan sosial dengan negara lain tanpa kehilangan identitas dan integritasnya. Muhammadiyah yang sudah lama berperan dalam kegiatan pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan, baik di dalam maupun luar negeri, harus tetap mempertahankan sikap independen dan berpegang teguh pada prinsip keadilan yang diajarkan Islam.
Sebagai organisasi besar yang memiliki banyak cabang di berbagai negara, Muhammadiyah harus memastikan bahwa setiap kerja sama yang dilakukan dengan pihak luar tidak melanggar prinsip keadilan.j Dalam konteks ini, Muhammadiyah juga bisa mendorong pemerintah Indonesia untuk terus menjaga kedaulatan hukum dan tidak terjebak dalam negosiasi yang merugikan negara atau tidak sesuai dengan norma internasional.
Pandangan bagi Pemerintah Indonesia
Bagi pemerintah Indonesia, pernyataan Presiden Marcos Jr. ini menjadi sinyal penting dalam membangun hubungan diplomasi yang saling menghormati. Indonesia harus terus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dalam hubungan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan transparan. Kasus Alice Guo ini menjadi contoh bahwa negosiasi yang dilakukan antara dua negara harus didasari oleh kesepahaman hukum yang jelas, tanpa ada desakan yang dapat mencederai kedaulatan hukum masing-masing negara.
Sebagai mahasiswa, saya berharap pemerintah Indonesia terus menjalin kerja sama internasional dengan negara lain, tetapi tetap menjaga integritas dan kedaulatan hukum. Pemerintah juga perlu lebih aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya diplomasi yang adil dan berlandaskan hukum, sehingga masyarakat bisa memahami proses yang terjadi dalam kasus-kasus internasional seperti ini.
Kasus barter tahanan yang melibatkan Indonesia dan Filipina dalam konteks penangkapan Alice Guomenjadi pelajaran penting tentang diplomasi, keadilan, dan kemandirian hukum. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia, juga dapat mengambil pelajaran dari kasus ini untuk terus menjaga prinsip keadilan dalam setiap kerja samanya. Pemerintah Indonesia pun diharapkan dapat terus memperkuat hubungan diplomasi dengan negara lain tanpa melanggar prinsip hukum yang telah disepakati secara internasional.
Dengan dasar ini, saya yakin bahwa Indonesia mampu menjadi negara yang disegani di kancah internasional, tidak hanya karena kekuatan ekonominya, tetapi juga karena ketaatannya terhadap hukum dan keadilan. Semoga pemerintah Indonesia dan Muhammadiyah terus menjaga prinsip-prinsip ini demi kemajuan bangsa.
Editor Teguh Imami