Ilustrasi ucapan maulid nabi, sumber: Sonora.Id
Ahmad Fanani Mosah – Anggota Majlis Dikdasmen PCM Babat, Anggota APIMU Lamongan. Opini ini merupakan tulisan yang diikutkan sayembara APIMU
PWMU.CO – Muhammadiyah mengakui, 1400 tahun lalu terjadi peristiwa besar membawa sejarah agar manusia terarah. Yakni pertamakali turunnya wahyu Surat Al-‘Alaq 1—5 :
ِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!
خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ٢ Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ٣ Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia,
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ٤ Yang mengajar (manusia) dengan pena.
عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ٥ Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Konskwensi logisnya, segaris dengan firman Alloh
نٓ ۚ وَالۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُوۡنَۙ
Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.
Di kalangan Muhammadiyah dijadikan sebagai kalimat penutupan rapat. disamping potongan ayat fastabiqul khoirot ..dsb. Banyak quotes memberi semangat di bidang kepenulisan, antara lain :
- Ikatlah ilmu dengan menuliskannya (Ali Bin Abi Tholib)
- Pena wartawan itu lebih tajam daripada senjata tentara (Napoleon Bonaparte)
- Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator (Hos Tjokroaminoto)
Muhammadiyah dan kelompok lain, sepakat huruf-huruf abjad awal-awal surat, untuk menarik perhatian ummat. Guna menjaga keontetikan alquran, rosululloh memerintahkan Zaid Bin Tsabit sebagai penulis wahyu. Media menulis wahyu kala itu, antara lain : pelepah kurma, kulit pepohonan, batu-batuan, tulang-belulang, dan sebagainya. Sebab belum ada kertas.
Proses pencatatan wahyu yang digarap Zaid bin Tsabit itu tuntas menjelang wafatnya rosululloh. Semua naskah yang berserakan telah terkumpul dan terpelihara dengan rapi. Namun belum tersusun dalam satu kesatuan (kitab berjilid). Baru pada masa kholifah Abu Bakar Assidiq, Zaid Bin Tsabit mengumpulkan suhuf-suhuf (lembaran-lembaran) tersebut maupun dari para penghafal yang masih hidup, untuk dijilid-bukukukan. Semangat ini menjadi cikal-bakal penulisan hadits-hadits atau berita-berita dari rosululloh melalui para sahabat yang dapat dipercaya. Kemudian terproyeksikan hingga kini.
Napoleon Bonaparte pernah berujar: “Setajam-tajamnya senjata serdadu masih tajam pena wartawan”. Ungkapan ini dijadikan kata-kata mutiara, khususnya bagi orang-orang yang berkecimpung di bidang tulis-menulis (wartawan, kolumnist & journalist, dsb).
Di era penjajahan dan belum ada komputer, hal-hal terkait tulis-menulis (percetakan, perbukuan, perpustakaan, pendidikan, dan kepesantrenan) menggunakan media tinta dan kertas. Mata-penanya terbuat dari bulu ayam. Hingga kini simbol itu, kini dijadikan trade-mark, lambang kepenulisan.
Sejarah mencatat adanya bukti-bukti historis jaman Prasejarah. Ketika itu yang paling menonjol adalah segala peralatan (kapak, senjata, pisau dll) terbuat dari batu. Oleh karenanya, pada zaman Prasejarah itu, desebut Zaman Batu.
Terkait bidang jurnalistik, disebut masa post factum. Pertanda adanya sekelompok manusia sudah mengenal bentuk huruf/tulisan. Hal ini bisa kita lihat adanya prasasti (batu bertulis), pahatan-pahatan huruf dan ukir-ukiran atau relief pada candi , artevak dsb.
Hadirnya sosok Tsa’i Lun dari negeri Cina memperkenalkan ketrampilannya membuat kertas yang bahan bakunya dari bambu. Kemudian abad 14, Johan Gutenberg menciptakan mesin cetak. Sejak itulah dunia persuratkabaran berkembang pesat hingga saat ini.
Mantan presiden Amerika Serikat, Eissen Hower pernah berorasi : “Berilah saya 26 prajurit. Dalam waktu singkat saya akan menguasai dunia”. Maksudnya, barang siapa dapat menguasi tulisan, dijamin mampu menguasi dunia. Sebab dengan tulisan, kita dapat memengaruhi masyarakat pembaca. Opini publik terbentuk.
Kebiasaan membaca bagi masyarakat maju dan berkembang sudah menjadi kebutuhan pokok. Contoh, bila ada kesempatan nganggur sedikit saja, misalnya di atas bus, mereka gunakan untuk membaca. Lain lagi masyarakat Indonesia : baru saja duduk di atas bus langsung ngantuk/tidur, ngorok lagi ! Inilah pemandangan menuju kebodohan.
Akan tetapi kini masih sedikit sekali yang menyadari pentingnya berliterasi (membaca dan menulis). Bukti survey menunjukkan, minat baca rakyat Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya per 1000 orang, hanya ada 1 orang yang gemar membaca (temuan Unesco 2012).
Sedangkan hasil survey yang dilakukan oleh Most Literated Nation In The Word 2016, minat baca masyarakat Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara yang diteliti. Yang menjadi titik permasalahannya, bukan karena masyarakat kita buta huruf. Tapi daya minat baca sangat rendah. Mereka suka membaca pada media gadget : WA, SMS, Tiktok, Instagram , Facebook, dsb
Guna menepis bobroknya semangat baca, pada tanggal 18 Agustus 2015 pemerintah Indonesia mencanangkan GLS (Gerakan Literasi Sekolah). Kemudian Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyasar guru/pendidik agar menyisihkan dana sertifikasinya untuk njajan buku dan berkarya-tulis.
Editor Teguh Imami