Oleh: Silviyana Anggraeni – Pegiat literasi atau APIMU Lamongan
PWMU.CO – Woman discourse adalah isu yang tidak ada habisnya. Tidak hanya terbatas pada soal emansipasi atas hak-hak yang diperjuangkannya atau problematika yang menimpanya seperti kasus kekerasan dan pelecehan, tetapi juga soal karakteristik yang ada pada diri perempuan itu sendiri.
Seolah-olah segala tindak-tanduk perempuan diinterpretasikan sebagai sesuatu yang layak dikonsumsi publik, seperti tubuh, peran, pemikiran, bahkan suara perempuan adalah sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Hal seperti ini wajar karena perempuan memiliki peran yang fundamental bagi pembangunan sebuah keluarga, masyarakat bahkan negara.
Perempuan dapat dijadikan barometer kehidupan sebuah masyarakat. Jika perempuannya baik maka masyarakatnya juga baik, jika perempuannya buruk maka masyarakatnya juga dipastikan akan buruk. Begitu esensialnya peran perempuan, sampai-sampai ada quote yang menyatakan bahwa jika ingin merusak sebuah keluarga maka rusaklah dulu ibunya atau jika ingin merusak sebuah bangsa maka rusaklah dulu perempuan yang ada dalam bangsa tersebut.
Fenomena perempuan sejak masa jahiliyah sampai hari ini masih sama yakni tabarruj. Perilaku ini dilarang dalam Islam karena dimaksudkan untuk melindungi harkat dan martabat perempuan itu sendiri.
Tabarruj adalah memperlihatkan kecantikan dan perhiasan dimana dengan perilaku tersebut dapat menimbulkan syahwat dari lawan jenis yang bukan mahramnya. Kecantikan di sini bisa dianalogikan sebagai wajah, bentuk tubuh, bahkan suara. Perhiasan bisa diartikan keindahan pakaian, emas, berlian, wewangian. Disebut tabarruj jika semua itu di perlihatkan kepada yang bukan mahramnya. Larangan bertabarruj terdapat pada firman Allah surah Al-Ahzab ayat 33.
“Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Saat ini, perilaku tabarruj masih dipandang menjadi perilaku yang umum dan wajar. Bahkan seiring berjalannya waktu, perilaku tabarruj tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berjilbab, tetapi juga oleh muslimah yang berjilbab.
Beberapa contohnya dapat kita lihat di media sosial, dengan leluasa muslimah-muslimah berjilbab tersebut memperlihatkan kecantikan wajah, lekuk tubuh, kemewahan perhiasan dan pakaiannya lalu dibungkus dalam konten-konten Islami. Jika dahulu tabarruj banyak dilakukan oleh orang yang tidak paham agama, kini justru agama dijadikan topeng untuk menghalalkan perilaku tabarruj.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku tabarruj. Setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku tabarruj menurut buku berjudul ‘Aktsar min 1000 Jawab lil Mar’ah’ yang ditulis oleh Khalid Al-Husainan.
Pertama, karena lemahnya keimanan dan rasa takut kepada Allah. Harus diakui, dengan mengingat Allah dan hukum Allah, manusia akan berpikir berulang-ulang untuk melanggar dan berbuat suka-suka dengan perintah Allah. Melemahkan iman dan rasa takut kepada Allah sama dengan membuka peluang bagi setan untuk memperbudak hati dan tindakannya kepada perbuatan buruk, termasuk berperilaku tabarruj.
Kedua, pendidikan yang rusak terutama dari lingkup kecil seperti keluarga. Jika ayah ibunya bertabarruj, sang anak pun akan bertabarruj. Jika orang tuanya zuhud, sang anak pun akan tumbuh menjadi pribadi yang zuhud.
Ketiga, pengaruh media massa. Seperti yang kita lihat saat ini, begitu besarnya peran media massa dalam memberikan tontonan yang kemudian dijadikan tuntunan. Seolah apa yang ada di media massa adalah sesuatu yang harus diikuti, mulai dari gaya hidup hingga berekspresi. Maka dari itu, tidak heran jika mempertontonkan bentuk tubuh, perhiasan, pakaian dan berbagai macam kekayaan adalah hal yang sudah biasa terjadi di dunia nyata.
Keempat adalah taqlid. Dalam konteks reformisme islam taqlid diartikan secara negatif yakni ‘sebagai peniruan buta’, yaitu sikap peniru yang tidak kritis terhadap yang ditiru. Jika yang ditiru bertingkah buruk maka peniru akan mengikutinya dalam bertingkah. Pada masa kini, biasanya peniruan buta tersebut meniru artis-artis yang berseliweran di media massa maupun sosial.
Kelima, pengaruh teman yang buruk. Islam sebagai agama yang universal telah mengatur adab serta batasan dalam bergaul. Salah satunya dengan memilih teman yang baik. Teman yang baik akan membawa kebaikan pada diri kita, sedangkan teman yang buruk akan membawa keburukan juga pada diri kita.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah dalam H.R. Abu Dawud. “Seseorang tergantung pada agama teman dekatnya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman dekat”.
Perilaku tabarruj dalam islam hukumnya haram. Sudah selayaknya yang dihukumkan haram, ketika tetap dilakukan maka berdosa dan ketika pelakunya meninggal sebelum bertaubat maka hukumannya adalah api neraka.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah dalam Hadits Riwayat Muslim “Ada dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya (Salah satunya adalah) Kaum wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok serta miring jalannya, dan kepalanya bagaikan unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga ataupun mencium baunya”. Wallahu a’lam Bish Shawabi. (*)
Editor Ni’matul Faizah