Muhammadiyah, Negara Pancasila, dan Darul Ahdi wa Syahadah
Oleh Biyanto (Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Sekretaris PWM Jawa Timur)
PWMU.CO- Sejumlah literatur klasik tentang politik Islam umumnya membagi negara di bawah kekuasaan Muslim menjadi dua kategori: kawasan Islam (darul Islam) dan kawasan kafir (darul kufr).
Beberapa teoretisi politik Islam juga memperkenalkan konsep kawasan damai (darus silmi) dan kawasan perang (darul harb).
Konsep-konsep ini telah dimanfaatkan oleh aktivis gerakan politik Islam kontemporer untuk memperjuangkan negara ideologi yang bersifat lintas batas (transnasional). Orientasi ini berkembang di negara-negara dengan populasi Muslim mayoritas maupun minoritas.
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, menghadapi tantangan dari gerakan Islam transnasional ini.
Menurut Hrair Dekmejian dalam “Islamic Revival: Catalysts, Categories and Consequences” (1988), gerakan Islam transnasional sering dianut oleh individu atau kelompok berideologi fundamentalis atau revivalis.
Sementara istilah “fundamental” secara umum bersifat netral—bermakna dasar atau mendasar—istilah “fundamentalisme” sering kali membawa stigma negatif, terutama saat berkaitan dengan gerakan politik.
Salah satu ciri penting organisasi berideologi transnasional adalah orientasi politiknya yang cenderung memperjuangkan negara khilafah.
Beberapa organisasi bahkan melakukan aksi konvoi khilafah dengan atributnya, yang mengancam ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Banyak gerakan Islam transnasional memandang sistem politik Indonesia jauh dari nilai-nilai Islam, bahkan menganggapnya kafir (thaghut) karena menganut sistem demokrasi yang mereka anggap sebagai produk Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena pandangan ekstrem ini, sejumlah organisasi Islam transnasional telah dibubarkan oleh pemerintah. Meski demikian, beberapa kelompok ini tetap aktif dalam memperjuangkan negara khilafah melalui berbagai cara, meskipun tidak lagi beroperasi secara terbuka.
Dalam menghadapi tantangan ini, Muhammadiyah sebagai salah satu pilar civil society menegaskan pentingnya Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah.
Konsep ini, yang dihasilkan dari Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3–7 Agustus 2015, mengedepankan Pancasila sebagai negara konsensus dan persaksian, yang menunjukkan komitmen kebangsaan Muhammadiyah terhadap Indonesia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menekankan bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus para pendiri bangsa.
Dalam konteks ini, Negara Pancasila menjadi arena bagi setiap elemen bangsa untuk memberikan persaksian dan menunjukkan komitmen dalam merealisasikan cita-cita nasional.
Sejarah menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, pernah berperan besar dalam merumuskan Pancasila demi menjaga keutuhan NKRI.
Dalam dinamika politik global saat ini, muncul pergulatan antara ideologi nasionalisme dan transnasionalisme. Kelompok berideologi transnasional terus berusaha menggairahkan wacana khilafah.
Namun, dalam konteks modern, batas wilayah negara sangat jelas, dan nasionalisme menjadi ideologi utama setiap negara, sehingga ruang untuk ideologi politik transnasional sangat terbatas.
Dinamika politik dan perbedaan perspektif di kalangan politikus Muslim juga menunjukkan betapa sulitnya menyatukan suara umat dalam bidang politik.
Dalam hal ini, banyak pemikir Muslim berpendapat bahwa ideologi politik transnasional hanyalah sebuah ilusi, yang tidak pernah terwujud dalam kenyataan. Sejarah membuktikan bahwa upaya mendirikan khilafah sering kali gagal, dan banyak organisasi yang memperjuangkannya akhirnya dibubarkan.
Dengan mempertimbangkan sejarah panjang perjuangan kemerdekaan dan perdebatan antar pendiri bangsa mengenai Pancasila, Muhammadiyah mengajak semua pihak untuk menerima Pancasila dan NKRI sebagai konsensus.
Konsep Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah harus terus disemai agar tetap relevan dan implementatif dalam konteks kekinian. Melalui langkah ini, diharapkan setiap elemen bangsa dapat berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita bersama untuk Indonesia yang lebih baik.
Artikel ini dikutip dari Harian Disway
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan