Silviyana Anggraeni
Ditulis oleh Silviyana Anggraeni. Sehari-hari sebagai pegiat di Aliansi Penulis Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Sekufu atau kafa’ah secara bahasa memiliki makna kesepadanan, sederajat. Sedangkan secara istilah memiliki makna sesuatu atau seseorang yang sepadan dengan sesuatu atau seseorang lainnya. Makna ini berlaku bagi setiap hubungan. Baik itu hubungan pertemanan ataupun pernikahan.
Dalam sejarahnya, konsep sekufu atau kafa’ah dimulai di irak, kufah, yang dijalankan untuk menghindari pencampuran pernikahan orang non arab dan orang yang arab akibat kompleksitas masyarakat irak dari arus urbanisasi.
Mengacu pada tema diatas, yakni apa dan bagaimana maksud dari pernikahan sekufu? Ditarik dari pengertian tadi, sekufu dalam pernikahan adalah adanya kesepadanan atau kesetaraan antara seorang suami dengan istrinya. Baik sepadan dalam hal ketauhidannya, pendidikannya, ekonominya, status sosialnya dan sebagainya.
Mungkin kita sering mendengar kata “cinta ditolak karena bukan anak pejabat”. Atau “Tuhan memang satu, kita yang tak sama”. Ya kata-kata demikian lahir dari kondisi ketidaksepadanan, sebuah hubungan yang dihalangi oleh tembok status sosial ataupun tembok perbedaan agama.
Cinta yang terhalang oleh kedudukan status sosial, antara yang berpangkat dan tidak berpangkat. Cinta yang terhalang perbedaan agama, antara yang islam dan kristen misalnya. Dan untuk menyatukannya di butuhkan kesepadanan, kesetaraan.
Apalagi jika hubungan tersebut sudah pada tahap pernikahan. Kesepadanan menjadi hal yang sangat penting dan serius untuk di bicarakan. Karena pernikahan juga sesuatu yang serius, seperti yang di sabdakan Rasulullah SAW “Tiga hal yang seriusnya di anggap benar-benar serius dan bercandanya di anggap serius: Nikah, cerai, rujuk”
Pertanyaannya, mengapa pernikahan adalah sesuatu yang serius? Yang pertama, karena pernikahan adalah satu-satunya media penyatuan antar manusia yang di tempuh melalui sebuah perjanjian sakral antara mahluk dan penciptanya, yakni ijab dan qabul. Yang kedua, tujuan dari pernikahan itu sendiri. diantaranya untuk melaksanakan perintah Allah, mengikuti sunnah Rasulullah, untuk membangun peradaban islam melalui lingkup kecil yakni bernama keluarga. Mana mungkin tujuan se heroik itu dapat di tempuh dengan jalan hanya main-main, tidak serius, apalagi bercanda.
Begitu penting dan seriusnya sebuah pernikahan kita sampai berpikir tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun di dalamnya. Termasuk apa-apa yang dapat mengganggu keutuhan dalam pernikahan itu sendiri. Bahkan kita sudah pada tahap melakukan berbagai cara guna meminimalisir konflik agar pernikahan tersebut selalu harmonis. Padahal pada kenyataannya tak ada gading yang tak retak termasuk sebuah hubungan antar manusia. Kebaikan ataupun keburukan. Apapun bisa terjadi, tentunya dengan seijin Allah SWT.
Cara yang di tempuh agar pernikahan langgeng pun banyak. Di antaranya dengan mencari pasangan yang sekufu, sepadan, sederajat. Namun apakah hanya butuh kesepadanan untuk meminimalisir konflik dalam pernikahan?
Konsep sekufu tidak hanya sebatas nilai materil tetapi juga nilai immateril. Dimana nilai materil adalah sesuatu yang berwujud, bisa dilihat, dan memiliki karakteristik mudah berubah. Sedangkan nilai immateril adalah sebaliknya sesuatu yang tidak mudah berubah seperti keyakinan, pandangan, prinsip.
Dari nilai tersebut dapat di tentukan hipotesis, semakin sama nilainya baik materil maupun immateril, maka semakin cocok. Sedangkan semakin tidak sama nilainya, semakin tidak cocok, bahkan cenderung menemui banyak hambatan dan konflik. Dari hipotesis tersebut dapat disimpulkan bahwa pernikahan sekufu dianggap dapat meminimalisir konflik dan menjadikan pernikahan lebih harmonis meskipun keakuratannya masih membutuhkan penelitian yang lebih mendalam.
Maraknya kasus perceraian di indonesia selain dipicu masalah ekonomi dan perselingkuhan, masalah yang berhubungan dengan ketidak harmonisan karena ketidak sepadanan mencapai angka 31 persen dari total 100 persen faktor perceraian.
Lalu bagaimana Islam memandang hal tersebut?
Islam sendiri tidak pernah membeda-bedakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Secara fitrah semua mahluk adalah sama. Dan Allah menilai kemuliaan seorang hamba dari ketakwaannya. Hal ini berdasarkan dalil Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bartakwa”.
Bila kita berbeda pun adalah sesuatu yang wajar. Misal berbeda ciri fisik, berbeda cara pandang, berbeda tingkat ekonomi, berbeda kedudukan jabatan, berbeda kemampuan dan lain-lain. Karena perbedaan adalah sunatullah. Seperti firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 71 yang memiliki arti “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rejeki”.
Secara garis besar Islam tidak menolak perbedaan ataupun ketidaksepadanan, islam tidak pula mengharuskan kesamaan ataupun kesepadanan. Islam berada di tengah-tengah selama hal tersebut tidak menimbulkan mudhorot apalagi melanggar/menganggu prinsip keyakinan seseorang. Karena setia orang berhak memilih dan sekaligus menanggung konsekuensi atas pilihannya.
Menemukan pasangan yang sepadan juga bukanlah syarat utama seseorang untuk menikah, yang terpenting bagaimana komitmen pasangan tersebut untuk menjalani kehidupan rumah tangga sesuai koridor agama agar terwujudnya tujuan pernikahan yang harmonis dan di ridhoi Allah SWT. Seperti sabda Rasulullah dalam Hadist Riwayat Tirmidzi yang bunyinya “Dari Ali bin Abi Thalib, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama mengatakan kepadanya, “Wahai Ali, tiga hal yang jangan engkau tunda pelaksanaannya; apabila waktu shalat telah datang, jenazah yang hadir (segera dimandikan) dan (pernikahan) seorang perempuan yang telah menemukan seseorang yang cocok.”
Editor Teguh Imami