Oleh: Fathan Faris Saputro – Anggota Bidang Pustaka dan Literasi Kwarda HW Lamongan
PWMU.CO – Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang pemuda bernama Raka yang terkenal malas dan selalu menunda pekerjaan. Hari-harinya dihabiskan dengan duduk santai di bawah pohon besar, menikmati angin sepoi-sepoi tanpa memikirkan apa yang akan terjadi esok.
Setiap kali dia diingatkan untuk mengejar cita-citanya sebagai seorang pengusaha sukses pikirnya selalu ‘Masih ada waktu’. Namun, tanpa disadari, hari demi hari berlalu, dan Raka tetap di tempat yang sama, tidak ada kemajuan yang berarti.
Suatu hari, seorang pedagang tua lewat di depan rumah Raka dan berhenti sejenak untuk berbicara dengannya. Pedagang itu menawarkan kesempatan emas yaitu bermitra dalam bisnis yang telah dijalankannya selama bertahun-tahun.
“Ini bisa menjadi peluang besar bagimu, tetapi keputusan harus diambil segera,” kata pedagang itu. Seperti biasa, Raka menundanya dan berpikir bahwa kesempatan seperti ini akan selalu ada di masa depan.
Beberapa pekan kemudian, pedagang tua itu kembali. Kali ini, dia datang untuk berpamitan karena kemitraan bisnisnya telah diberikan kepada orang lain yang lebih cepat mengambil keputusan. Raka merasa sedikit kecewa, tetapi dia masih belum menyadari sepenuhnya dampak dari menunda-nunda.
“Tidak masalah, mungkin nanti ada peluang lain,” gumamnya sambil melanjutkan kebiasaan malasnya.
Tahun-tahun berlalu, dan Raka mulai menyadari bahwa teman-teman sebayanya sudah mencapai kesuksesan masing-masing. Ada yang telah menjadi pengusaha sukses, ada pula yang memiliki karier cemerlang di kota besar. Sementara itu, Raka tetap berada di desanya, hidup dengan rutinitas yang sama, tanpa ada perubahan berarti.
Dia mulai merasakan kekosongan dalam hidupnya. Bukan karena kekurangan materi, tetapi karena banyaknya kesempatan yang telah dia lewatkan.
Suatu malam, ketika sedang merenung di bawah bintang-bintang, Raka mengingat kembali semua peluang yang dulu datang menghampirinya. Dia teringat pada pedagang tua yang saat itu menawarkan bisnis, tetapi tidak pernah dia coba, dan pada mimpinya yang tertinggal di masa lalu.
Penyesalan pun datang, tetapi waktu sudah tak bisa diputar kembali. ‘Waktu hilang, peluang hilang’, bisiknya pada dirinya sendiri yang menyadari bahwa kesempatan yang terlewat takkan pernah datang dua kali.
Dari hari itu, Raka memutuskan untuk berubah. Dia mulai menghargai setiap detik yang dimilikinya dan mulai mengambil langkah-langkah kecil untuk mengejar mimpinya yang tertunda. Meski usianya tak lagi muda, Raka tidak mau lagi menjadi tawanan waktu yang hilang. Baginya, lebih baik terlambat memulai daripada tidak sama sekali.
Bagi Raka, waktu kini menjadi aset yang paling berharga. Dia belajar bahwa menunda hanya akan membuat peluang lenyap tanpa jejak dan meninggalkan penyesalan di hati.
Raka menyadari bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak peluang yang datang, tetapi tentang seberapa cepat kita merespons dan mengambil tindakan. Hal itu karena di dunia ini, waktu yang hilang takkan pernah kembali, dan peluang yang terlewat mungkin takkan pernah ada lagi.