Oleh Ahmad Rusdi (Pengajar di MA Muhammadiyah 9 Al Mizan Lamongan).
PWMU.CO – Beragama itu artinya berlogika, jika beragama tanpa melibatkan logika berarti beragamanya hanya turut-turutan, atau hanya taklid pada nenek moyang.
Setiap orang yang hendak beragama, dia punya hak mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental. Seperti, siapa aku ? hidup itu apa? Dan alam ini siapa yang mencipta?
Setengah filsuf mengatakan manusia itu jenis binatang juga. Dalam artian jika manusia makan, binatang pun makan, manusia tidur, binatang pun tidur, manusia mati, binatang pun mati. Di tengah kesamaan itu ada satu pembeda, yakni adanya akal pada manusia dan ketiadaan akal pada binatang.
Akal atau sering disebut pikiran itulah yang menjadi alat bagi manusia untuk mencari dan mengenal siapa Tuhannya, sehingga lewat proses itu maka tibalah manusia pada satu agama yang diyakini.
Seketika orang telah menyakini satu agama. Islam misalnya, di mana agama Islam adalah agama Wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada utusannya, lalu disebarluaskan kepada umat manusia, maka menjadi konsekuensi logis bagi pengiman itu menyakini kebenaran kitab sucinya.
Al-Qur’an sendiri sebagai kitabnya umat Islam menyebut kata akal hingga 49 kali, dan kata itu terdeteksi dalam gramer bahasa arab sebagai fiil mudlari’ dan satu fiil madli, maknanya kata akal dalam al-Qur’an bentuknya kata kerja.
Setelah menganalisis kata akal dalam al-Qur’an sebagai kata kerja, baik yang menunjukkan waktu sekarang atau waktu lampau, maka dapatlah dimengerti betapa Islam sangat serius menyuruh manusia menggunakan akal untuk berfikir.
Selain itu dapat juga dipahami bahwa berpikir itu adalah proses yang terus menerus bukan sesuatu yang menyejarah.
Oleh karena itu, jika kita beragama maka beragamalah dengan sadar, artinya gunakan akal untuk menemukan kebenaran.
Beragamanya seseorang tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengetahui kebenaran yang ada di dalamnya, dan untuk mengetahui kebenaran itu bukankah kita menggunakan akal untuk berlogika.
Ada sebagian orang berkesimpulan bahwa agama hanyalah dogma, yang mana agama tidak memberikan ruang pada akal untuk berfikir.
Kalau agama yang dimaksud itu adalah Islam, saya kira kesimpulan itu tidak benar, sebab Islam sejak pertama dida’wahkan oleh sang utusan, wahyu yang mula-mula turun adalah perintah untuk membaca, dan bukankah pekerjaan membaca selalu melibatkan akal atau pikiran.
Agama Islam sendiri sangat menghargai produk akal yakni ilmu pengetahuan, kalau tuan-tuan masih ingat seketika Islam berada dalam puncak kejayaannya, bukankah saat itu Islam menjadi peradaban dunia.
Waktu itu para ilmuwan Islam bersemangat menjadikan al-Qur’an sebagai dasar menggali ilmu pengetahuan.
Taruhlah misal seketika al-Qur’an meminta umatnya membaca, ilmuwan Islam menjadi pionir dalam segala pembacaan, maka lahirlah Al Khawarizmi penemu Al Jabar yang kemudian menjadi dasar ilmu hitung atau matematika.
Dalam Qur’an Allah menyuruh menggunakan akal untuk berfikir, ilmuan Islam tidak ragu menjadi seorang filosof, maka lahirlah filsuf besar Islam seperti Al Farabi, Al Kindi, dan Al Ghazali.
al-Qur’an ketika bicara perihal proses penciptaan manusia, ilmuwan Islam bersungguh menyelidik dan meneliti, maka lahirlah ahli kedokteran Islam Ibnu Sina.
al-Qur’an saat bicara perihal muamalah, ilmuan Islam menyediakan diri bertekun mendalami ilmu sosial kemasyarakatan, maka lahirlah bapak sosiologi Islam yang bernama Ibnu Khaldun.
Lantas yang menjadi pertanyaan, kenapa zaman kegemilangan islam yang mencengangkan, dan mempengaruhi peradaban dunia itu bisa mengalami kemunduran.
Jawaban atas pertanyaan itu ialah karena setelah umat Islam memasung akalnya sendiri, dalam artian akalnya dipaksa berhenti berfikir.
Kalau ada yang hendak menggunakan akalnya untuk memikirkan ayat-ayat Tuhan, yang mana pikirannya tidak sejalan dengan arus politik saat itu, dan pikirannya dapat membahayakan kekuasaan, maka dituduh sesat menyesatkan, dikucilkan, dihukum buang, bahkan hukuman mati bila diperlukan.
Peristiwa sejarah kelam itu membuat semarak menggali ilmu pengetahuan dalam alam Islam menjadi terhenti jalannya, dan mandeknya ilmu pengetahuan itu pertanda awan gelap bagi dunia Islam. Dalam ke semua itu jika Islam ingin kembali menuju kejayaan, mari berislam dengan akal sehat.
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan