Oleh: Yulikatun Sholihah
PWMU.CO – Pendidikan saat ini tampaknya telah kehilangan esensi sejatinya. Tujuan mendasar pendidikan, yaitu untuk mendidik dan mencetak individu yang terdidik, semakin lama semakin terpinggirkan.
Ironisnya, institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai-nilai positif justru sering diwarnai oleh berbagai masalah, seperti perundungan antar siswa, pelecehan verbal, hingga kasus-kasus asusila yang melibatkan guru dan siswa, sebagaimana baru-baru ini terjadi di Gorontalo.
Perilaku negatif ini mencoreng wajah pendidikan, dan memunculkan pertanyaan: apa sebenarnya yang dihasilkan oleh sistem pendidikan saat ini?
Pandangan yang salah bahwa pendidikan hanya berpusat pada nilai rapor dan ijazah meresahkan banyak orang. Banyak yang berasumsi bahwa tujuan utama belajar hanyalah untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi atau ijazah, dan tidak lebih dari itu.
Bahkan, ada pula yang mempertanyakan manfaat pendidikan tinggi dengan skeptis, “Sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa?” Pemahaman sempit ini memperlihatkan bahwa pendidikan sering kali dinilai hanya dari output administratif, bukan dari sisi moral, etika, atau pembentukan karakter.
Padahal, pendidikan seharusnya menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia. Kualitas manusia bukanlah sekadar angka di rapor, melainkan juga perilaku dan etika yang mereka tampilkan.
Namun, harapan ini tampaknya masih jauh dari kenyataan. Siswa, pendidik, orang tua, dan masyarakat luas perlu menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar tanggung jawab sekolah, melainkan tanggung jawab bersama.
Untuk mengembalikan hakikat pendidikan, semua pihak harus berkolaborasi—dari keluarga, sekolah, hingga pemerintah.
Untuk memperbaiki dunia pendidikan, kita perlu membersihkan apa yang salah, mengobati yang terluka, dan memperbaiki sistem yang ada. Salah satu masalah utama adalah perundungan di sekolah.
Guru dan tenaga pendidik harus lebih memperhatikan kondisi mental dan psikologis siswa, bukan hanya fokus pada capaian akademik.
Pendidikan yang efektif seharusnya mencakup bimbingan karakter dan kasih sayang yang menciptakan lingkungan nyaman bagi siswa untuk berkembang.
Selanjutnya, kasus-kasus asusila yang melibatkan guru menjadi sinyal bahwa perlu adanya selektivitas dalam pemilihan tenaga pengajar.
Guru bukan hanya dituntut memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga karakter dan moral yang baik. Peningkatan pengawasan psikologis terhadap tenaga pendidik juga sangat penting untuk menjaga profesionalitas dan keamanan lingkungan sekolah.
Selain itu, sekolah perlu mengembangkan program-program yang mendukung pembentukan karakter, bukan hanya mengejar target kurikulum.
Pendidikan seharusnya mengajarkan nilai-nilai kehidupan, seperti empati, kejujuran, dan integritas, agar siswa tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.
Masalah pendidikan memang kompleks dan beragam, namun dengan kerja sama semua pihak, eksistensi pendidikan dapat dipulihkan. Solusi harus dimulai dari dalam diri setiap individu yang terlibat dalam proses pendidikan, baik pendidik, siswa, maupun pihak sekolah.
Diharapkan, pendidikan yang sesungguhnya mampu menjadi penerang dalam kehidupan, menginspirasi setiap individu untuk mencapai potensi terbaiknya.
Mari kita semua bergandengan tangan untuk membawa kembali pendidikan pada hakikatnya, yaitu mendidik agar terdidik, dan menciptakan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia.
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan