PWMU.CO – Debat Pilkada di beberapa wilayah mendapat kritik tajam dari netizen, karena banyak program yang dianggap kurang berkualitas, minim ide substantif, dan lemah secara intelektual. Padahal, masyarakat mengharapkan para kandidat menunjukkan visi dan misi yang terbaik, dengan program kerja yang jelas dan terukur, sesuai dengan masalah yang dihadapi di daerah tersebut.
Dilansir dari web um-surabaya.ac.id, menanggapi hal itu, Radius Setiyawan, Dosen Kajian Media dan Budaya UM Surabaya, menyatakan bahwa kejadian di mana beberapa calon kepala daerah menjadi bahan ejekan netizen menunjukkan bahwa viralitas media sosial dapat menurunkan kualitas citra kandidat.
“Meski tidak selalu berbanding dengan elektabilitas, tetapi apa yang muncul di khalayak harus menjadi perhatian calon kepala daerah,” ujar Radius, Ahad (3/11/2024).
Menurut Radius, terdapat dua faktor yang mendasari hal ini. Pertama, kegagalan partai dalam menjalankan proses seleksi atau kaderisasi untuk menghasilkan calon kepala daerah yang berkualitas secara intelektual.
“Sehingga beberapa gagasan atau ide yang ditawarkan cenderung tidak masuk akal dan cenderung menjadi bahan bully netizen,” jelasnya.
Kedua, kesulitan dalam memahami masalah yang dihadapi masyarakat menyebabkan apa yang disampaikan justru menjadi bahan ejekan. Radius menegaskan bahwa untuk memahami masalah masyarakat diperlukan perspektif dan pengalaman. Tanpa kedua hal tersebut, ide atau gagasan yang disampaikan akan terasa kosong dan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya, Radius juga mengaitkan hal ini dengan viralitas. Menurutnya, viralitas ibarat pedang bermata dua, yang di satu sisi bisa memperbaiki citra, namun di sisi lain juga bisa merusaknya. Ia menegaskan bahwa banyak hal yang viral dapat mengubah situasi. Dalam banyak kasus, media sosial terbukti menjadi alat protes yang sangat efektif.
Ia menjelaskan bahwa viralitas merupakan kekuatan strategis yang bisa mendorong kebijakan atau bahkan melawan kekuasaan. Namun, viralitas juga dapat mengungkap kualitas seseorang dan menurunkan tingkat elektabilitasnya.
“Viralitas di media sosial kerap memantik sebuah perdebatan ruang digital menjadi sangat keruh, penuh buzzer (pendengung),” tambahnya.
Radius berharap debat yang berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia tidak hanya menjadi ajang untuk memamerkan jargon atau visi misi di dunia digital, tanpa benar-benar membahas substansi, atau tanpa adanya diskusi mendalam mengenai masalah kompleks yang ada saat ini.
“Ruang digital adalah saluran strategis menyalurkan isi kepala, murah dan efektif. Banyak citra diri dibangun di ruang tersebut, tetapi bisa menjadi alat bunuh diri kalau tidak cerdas memanfaatkannya,” tambahnya lagi.
Di tengah pesatnya perkembangan ruang digital, media sosial kini memungkinkan individu untuk menyebarkan berbagai minat pribadi dalam berbagai bentuk, termasuk pandangan politik, kepada khalayak luas, sehingga pengendalian informasi menjadi semakin sulit. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Wildan Nanda Rahmatullah