Oleh: M. Ainul Yaqin Ahsan (Anggota MTT PDM Lamongan)
PWMU.CO – Tanggal 10 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan, mengenang jasa para pejuang kemerdekaan yang berkorban melawan penjajahan. Pada tahun 2024 ini, peringatan Hari Pahlawan telah memasuki tahun ke-79. Namun, apakah makna pahlawan masih relevan dalam konteks zaman sekarang? Ataukah kita hanya terjebak dalam romantisme masa lalu tanpa memahami esensi perjuangan di era modern?
Pahlawan di Masa Lalu: Melawan Penjajah dengan Senjata
Kita mengenal para pahlawan sebagai sosok yang gigih melawan penjajah, mengangkat senjata, dan mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan bangsa. Perjuangan fisik melawan kolonialisme mengharuskan mereka berjuang dengan senjata tradisional seperti bambu runcing dan pedang, menghadapi kekuatan besar dari bangsa asing. Nama-nama seperti Jenderal Sudirman, Pangeran Diponegoro, dan Cut Nyak Dien adalah simbol keberanian yang lekat dengan perjuangan fisik melawan penindasan.
Namun, apakah kepahlawanan hanya sebatas perjuangan fisik? Realitas zaman berubah, demikian pula tantangan yang dihadapi bangsa ini. Kita tidak lagi berperang dengan kolonialisme, tetapi berhadapan dengan bentuk-bentuk “penjajahan” baru yang lebih halus dan kompleks.
Penjajahan Modern: Perang Melawan Ketidakadilan
Di era digital ini, penjajahan tidak lagi berbentuk fisik, melainkan hadir dalam wujud ketidakadilan sosial, eksploitasi sumber daya alam, hingga krisis identitas bangsa. Perjuangan melawan penjajahan modern menuntut kita untuk melawan ketergantungan pada budaya asing yang tanpa sadar menggerogoti nilai-nilai lokal. Contohnya, penggunaan bahasa asing yang semakin merajalela dalam percakapan sehari-hari. Istilah-istilah seperti busway, three-in-one, dan discount kini lebih sering kita dengar daripada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Penetrasi produk asing ini seolah menempatkan kita kembali pada posisi inferior, di mana kita lebih suka “impor” produk dan gaya hidup luar negeri daripada budaya sendiri. Terbaru ini kondisi peternak sapi perah dan pengepul susu yang tengah mengalami kesulitan karena jumlah susu yang masuk di Industri Pengolahan Susu (IPS) dibatasi 20% dari produk susu seluruhnya, sedangkan 80% menggunakan susu impor. Padahal secara kualitas dan kuantitas, para peternak dan pengepul susu lokal tidak kalah saing. Karena kasus inilah, potensi penjajahan gaya baru dengan leluasa dilakukan, yang berdampak bagi kerugian masyarakat yang berjuang untuk menghidupi keluarga dari tanah sendiri yang diperjuangkan oleh para pahlawan.