Oleh Alfi Saifullah
PWMU.CO – Bagi warga Muhammadiyah di Kota Batu, siapa yang tidak kenal dengan sosok kharismatik KH Abdul Mukhid, yang wafat pada 28 Desember 2015 dalam usia 78 tahun. Setelah menjalankan shalat sunnah dan menunggu waktu subuh, beliau dipanggil keharibaan Allah di dalam masjid yang dibangunnya. Berikut ini sekelumit kisah KH Abdul Mukhid dalam perannya sebagai guru, baik di keluarga maupun di masyarakat.
Desa Bumiaji pukul 3.55 WIB. Waktu menjelang Sholat Subuh. Suara ayam berkokok mulai terdengar bersahut-sahutan. Sejurus kemudian suara adzan dari berbagai corong masjid dan mushola mulai terdengar. Suaranya bertalu-talu. Lantas menyelinap masuk ke dalam rongga telinga setiap pendengarnya. Mengingatkan orang agar segera bangun dari tidur untuk segera menunaikan perintah Allah.
“Rip, rip, rip, tangio rip”, seru Kiai Abdul Mukhid sambil menggoyang-goyangkan tubuh Arif, salah satu putranya. Namun Arif masih belum juga bangun. Kiai Abdul Mukhid tidak menyerah, ia menarik selimut yang menyelubungi tubuh Arif. Masih belum bangun. Kiai Mukhid mengambil seciduk air, lantas memercikkannya ke wajah Arif. Kendati demikian, Arif masih belum juga bangun dari tidur nyenyaknya. Tak urung Kiai Mukhid segera menuju mushola. Pantang baginya ketinggalan sholat Subuh berjamaah.
Usai menunaikan sholat berjamaah, Arif masih terlihat belum bangun juga. Kiai Mukhid segera mengangkat tubuh Arif. Ia bopong tubuh putranya itu ke kamar mandi. Byuuur….. Tumpahan air memercik kesana-kemari. Dinding tembok di kamar mandi itu pun tampak basah. Arif terbangun dari mimpinya. Arif pun basah kuyup karena di rendam dalam bak mandi.
Itulah lintasan peristiwa yang masih tersimpan kuat dalam memori Ustadz Arif Syaifudin tentang pribadi dan karakter ayahnya, KH. Abdul Mukhid. Sosok yang sangat bersungguh-sungguh dalam mendidik putra-putrinya, terutama dalam menjalankan perintah Agama. Satu kata untuk menggambarkan sosok Kiai Mukhid, tegas.
Abdul Mukhid lahir di daerah Gempol, Pasuruan pada tanggal 21 Februari 1938. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana dengan 12 bersaudara. Abdul Mukhid lahir dari keluarga Nahdliyin yang cukup kental. Pendidikan dasar hingga menengah pertama, telah ia selesaikan di Pasuruan. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) di Malang. Selain menempuh pendidikan di di PGAA, Mukhid juga menyempatkan diri untuk belajar agama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading asuhan KH. Muhammad Yahya.
Dari dua institusi inilah, daya intelektualitas dan spiritualitas seorang Abdul Mukhid tertempa. Pada tahun 60-an, Abdul Mukhid memutuskan untuk hijrah ke Kota Batu. Di kota yang terletak di lereng Gunung Arjuno ini, hati Abdul Mukhid berlabuh. Ia menikahi seorang gadis dari Desa Bumiaji bernama Siti Rukhanah, putri dari Bapak Zakaria dan Ibu Wuriyan. Alhasil, pasca menikah, Abdul Mukhid (selanjutnya dipanggil Kiai Mukhid) untuk seterusnya menetap di Desa Bumiaji Batu.
Selama mengarungi bahtera rumah tangga dengan Ibu Siti Rukhanah, Kiai Mukhid dianugerahi Allah 10 orang putra-putri. Sebagai kepala rumah tangga, Kiai Mukhid selalu menekankan pentingnya pendidikan kepada anak-anaknya. Ia pernah berpesan, “Saya tidak meninggalkan apa-apa kepada kalian, yang terpenting semua anak saya telah sekolah”.