Integrasi kecerdasan buatan (AI) dalam dakwah Muhammadiyah membawa peluang besar sekaligus tantangan yang kompleks. (Istimewa/PWMU.CO).
Oleh Ilham Akbar
PWMU.CO – Kemajuan teknologi yang pesat dalam beberapa dekade terakhir telah membawa kita pada era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang kian berkembang. Kecerdasan buatan membuka banyak peluang di berbagai sektor, termasuk dalam ranah dakwah Islam.
Di era ini, Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, menghadapi tantangan sekaligus peluang untuk mengintegrasikan AI ke dalam aktivitas dakwahnya demi menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan mencerahkan.
Namun, langkah ini tidaklah sederhana. Diperlukan pemahaman mendalam, strategi yang matang, serta pendekatan etis dalam penggunaan teknologi ini.
Manfaat AI dalam Dakwah
Pemanfaatan AI dalam dakwah berpotensi memperluas jangkauan pesan Islam yang dibawa Muhammadiyah. Dengan teknologi yang semakin canggih, pesan dakwah dapat disebarkan melalui berbagai platform digital yang interaktif, seperti chatbot dakwah, aplikasi mobile, atau bahkan konten video berbasis algoritma yang disesuaikan dengan minat pengguna.
Misalnya, chatbot berbasis AI dapat berfungsi untuk menjawab pertanyaan tentang Islam secara langsung, memberikan saran sesuai dengan ajaran agama, atau bahkan memberikan pengingat ibadah yang dipersonalisasi.
Hal ini memungkinkan penyebaran informasi keagamaan yang lebih cepat dan efektif, menjangkau audiens lintas batas geografis dan sosial, sehingga pesan pencerahan Islam dapat diterima secara luas.
Selain itu, AI berpotensi menganalisis data dengan lebih cepat untuk mengetahui pola perilaku atau kebutuhan umat, sehingga konten dakwah dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik. Misalnya, analisis data dapat membantu dalam menentukan topik-topik dakwah yang relevan di suatu wilayah atau di kalangan usia tertentu.
Dari hasil analisis ini, Muhammadiyah dapat menciptakan konten yang lebih terarah, seperti ceramah virtual yang langsung menjawab permasalahan spesifik umat atau menghadirkan kajian sesuai kebutuhan psikologis dan sosial tertentu.
Pendekatan berbasis data ini juga membantu memaksimalkan upaya Muhammadiyah dalam memberikan solusi yang lebih tepat sasaran sesuai perkembangan zaman.
Meski menawarkan berbagai peluang, penggunaan AI dalam dakwah juga menghadirkan sejumlah tantangan yang tak bisa diabaikan.
AI dan Tantangannya dalam Dakwah
Salah satu tantangan terbesar adalah mempertahankan nilai-nilai etika dalam setiap prosesnya. Kehadiran AI mengharuskan adanya pengawasan yang ketat agar konten yang disampaikan tetap relevan dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang benar.
Sistem AI yang didesain untuk dakwah harus mematuhi prinsip-prinsip Islam dan memiliki filter untuk mencegah penyebaran konten yang bisa menimbulkan perpecahan atau kesalahpahaman. Teknologi yang salah kelola justru dapat menimbulkan bias atau penyebaran informasi yang kurang valid.
Oleh karena itu, Muhammadiyah perlu memastikan bahwa tim pengembang AI yang bekerja dalam lingkup dakwah ini memiliki pemahaman kuat akan ajaran agama serta komitmen pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Tantangan lain dalam penerapan AI untuk dakwah adalah resistensi budaya dan perubahan kebiasaan. Di beberapa kalangan, teknologi modern, terutama AI, mungkin masih dianggap asing atau bahkan bertentangan dengan nilai tradisional.
Untuk itu, Muhammadiyah perlu memastikan bahwa penerapan AI dalam dakwah tetap menjaga kearifan lokal dan keaslian nilai-nilai Islam, sehingga AI diposisikan sebagai alat bantu, bukan pengganti peran dakwah secara keseluruhan.
Pendekatan ini perlu ditekankan agar masyarakat memahami bahwa AI hadir untuk memperkaya dakwah, bukan menggeser peran ustaz atau dai dalam menyampaikan pesan agama. Selain itu, penerimaan teknologi juga memerlukan edukasi kepada masyarakat agar penggunaan AI dapat diterima dan berjalan selaras dengan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia.
Muhammadiyah juga menghadapi tantangan sumber daya manusia yang memadai untuk mengembangkan AI dengan pemahaman keagamaan yang kuat. Mengintegrasikan AI dalam dakwah memerlukan kolaborasi antara ahli teknologi dan pakar agama.
Ini bukanlah tugas mudah karena butuh investasi besar dalam melatih para ahli agar mampu menguasai teknologi dan tetap memiliki pandangan yang lurus sesuai ajaran agama.
Muhammadiyah harus berupaya menciptakan ekosistem yang mendukung, dengan menyediakan pelatihan bagi para dai dan pengurus untuk memahami teknologi yang ada dan melihat potensi pemanfaatannya dalam dakwah.
Pendekatan Etis
Di tengah tantangan ini, potensi besar AI sebagai alat bantu dakwah juga menginspirasi Muhammadiyah untuk terus mengembangkan cara baru dalam berinteraksi dengan umat. Di dunia yang semakin terhubung ini, AI memberikan kesempatan bagi Muhammadiyah untuk tetap relevan, khususnya dalam menghadapi generasi muda yang lebih melek digital.
Melalui AI, Muhammadiyah dapat menyampaikan dakwah dengan cara yang lebih menarik, misalnya melalui aplikasi berbasis augmented reality atau virtual reality, sehingga pemahaman ajaran Islam dapat tersampaikan secara mendalam dan lebih berkesan.
Integrasi kecerdasan buatan dalam dakwah tidak hanya akan membawa perubahan dalam metode, tetapi juga mengubah pola pikir masyarakat akan peran teknologi dalam kehidupan beragama.
Dengan strategi yang matang dan dukungan masyarakat, Muhammadiyah bisa memanfaatkan AI sebagai jembatan untuk terus memperluas gerakan pencerahan di era digital, sekaligus menjaga esensi nilai-nilai Islam yang moderat, inklusif, dan relevan sepanjang masa.
Kesimpulannya, integrasi kecerdasan buatan (AI) dalam dakwah Muhammadiyah membawa peluang besar sekaligus tantangan yang kompleks.
Dengan AI, Muhammadiyah dapat memperluas jangkauan dakwahnya secara lebih efisien dan interaktif, memungkinkan penyebaran pesan Islam yang moderat dan relevan bagi audiens lintas generasi dan wilayah.
Teknologi ini memberi potensi bagi terciptanya dakwah yang lebih personal melalui chatbot, analisis kebutuhan umat, dan konten digital yang menyesuaikan minat pengguna, sehingga pesan Islam yang mencerahkan dapat diterima dengan lebih luas dan mendalam.
Namun, penerapan AI dalam dakwah memerlukan pendekatan etis dan kesadaran akan tantangan budaya serta teknis. Dari sisi etika, sistem AI harus dibangun sesuai prinsip Islam yang benar agar terhindar dari distorsi atau kesalahan informasi.
Dari sisi budaya, resistensi terhadap teknologi masih ada di beberapa kalangan, sehingga penerapan AI dalam dakwah harus tetap menjaga nilai tradisional dan kearifan lokal, bukan untuk menggantikan peran dai atau ustaz, tetapi memperkaya dakwah itu sendiri.
Tantangan sumber daya manusia juga menjadi faktor kunci. Kolaborasi antara pakar agama dan ahli teknologi penting agar AI yang dikembangkan tidak hanya canggih secara teknis tetapi juga mengakar pada ajaran Islam yang benar.
Jika Muhammadiyah berhasil mengatasi tantangan ini, AI dapat menjadi alat yang kuat untuk mendukung gerakan pencerahan Muhammadiyah dan mempertahankan relevansinya di era digital, menjadikan Islam yang moderat, inklusif, dan bijaksana terus hidup dan berkembang sepanjang zaman.
Editor Danar Trivasya Fikri