Opini oleh Mohamad Su’ud *)
PWMU.CO – Waktu menunjukkan pukul 14.15 WIB. Sekolah sudah sepi. Tersisa beberapa siswa yang tetap bertahan untuk menyelesaikan tugas praktIk dan kegiatan bersama guru pengampu. Ruang guru sudah kosong.
Suara sayup-sayup terdengar dari arah masjid sekolah. Tiga siswa duduk merapat. Di depannya ada sosok guru yang dengan serius memperhatikan bacaan yang dilantunkan siswa kelas sebelas. Terhampar di atas meja, sebuah kitab “Iqro'” Jilid 2—buku panduan bagi pemula untuk bisa membaca Alquran. Selama tiga pekan mereka belajar membaca dengan tertatih-tatih.
BACA Berapa Gaji Guru Sekolah Muhammadiyah? “6 Koma,” Begitu Kata DR Abd. Mu’ti
Ada lagi guru datang lebih awal karena janjian dengan salah seorang siswa yang telah membangun komitmen untuk disiplin menghargai waktu. Ceritanya, guru ini sedang menemani siswa tersebut dan berjanji menyambut pertama kali kehadirannya.
Suasana lain tampak di area praktik siswa. Beberapa guru begitu telatenya setiap hari “menghabiskan” waktu bersama siswa untuk membimbing dan mengarahkan peserta praktik. Para pendidik ini bukan sekadar sebagai guru, tapi juga berfungsi sebagai teman dan ayah. Kelakar dan canda menyatu dalam suasana keakraban. Tentu tidak mengesampingkan etika.
Ada juga beberapa guru yang mencurahkan segenap pikirannya untuk kemajuan sekolah. Mereka tidak mau hanya berfungsi datang, mengajar, dan pulang. Mereka terus belajar dan ikut memikirkan kemajuan sekolah. Baginya, untuk berfikir besar tidak mesti menjadi leader. Bermimpi besar tidak harus di depan. Mereka menampilkan diri sebagai partner berfikir bagi para pemimpinnya.
Para guru tersebut bukan sekadar mengajar, tapi telah mengabdi sepenuh hati. Mereka “bekerja” di atas jam normal sekolah. Kalau mereka mau, bisa saja bersikap cuek, masa bodoh. Tidak ada salahnya jika guru cukup datang tepat waktu dan pulang seusai jam pembelajaran, karena memang itulah jam kewajibannya. Guru pengabdi tidak tersekat oleh hitungan jam rupiah.
BACA JUGA: Dicari, Pemimpin Muhammadiyah yang Kober
Rasa senang, bahagia, dan puas, itulah rupiah yang diberikan Allah, dan tidak ada yang bisa mengganti kecuali atas kehendaknya. Itu hanya bisa diperoleh bagi guru yang mau “lembur”, tanpa hitungan uang yang kadang tidak selalu membuat diri cukup. Kesempatan menjadi guru, adalah kesempatan untuk meninggikan dan memulyakan agama Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhamad: Ayat 7)
Mereka, para pejuang yang tidak menggadaikan waktu dengan uang. Baginya bisa membagi ilmu kepada para siswa adalah kebahagiaan yang tidak ternilai. Tidak hanya berbuat baik, tapi berusaha menampilkan yang terbaik selama hidupnya.
Doktrin Alquran suart Al-Isra’ ayat 7, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri,” terpatri dalam qalbu.
Kekayaaan sejati adalah mereka yang senantiasa bermanfaat dan berbagi. Generasi muda, termasuk para siswa, adalah aset masa depan yang melanjutkan cita-cita kemajuan umat. Sungguh idaman setiap manusia yang beriman, kelak akan mendapat limpahan pahala dari ilmu yang telah diberikan tanpa pamrih. Guru-guru yang tanpa pamrih, seperti ada unsur “malaikat” di dalamnya. [*]
*) Mohamad Su’ud adalah Pengasuh Konseling Remaja di Radio Prameswara Lamongan dan Group Kajian Islam WAG WAL ASHR