PWMU.CO – Sosialisasi Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) dan pelatihan hisab oleh Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PWM Jawa Timur memasuki zona kedua di Kota Madiun pada Ahad (17/11/2024). Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian program serupa yang dilaksanakan di lima zona di seluruh Jawa Timur.
Zona kedua mencakup Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, dan Magetan. Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Madiun bertindak sebagai tuan rumah dalam agenda yang dihadiri oleh perwakilan MTT PDM, PCM, PRM, serta Ortom tingkat Daerah dari Kota Kabupaten tersebut.
Ketua PDM Kota Madiun, Ir H Sutomo ST, dan Wakil Ketua PDM Kota Madiun, Ustaz Rosyid, menyampaikan apresiasinya atas terpilihnya Kota Madiun sebagai lokasi kegiatan. “Kami bangga dan mendukung penuh kegiatan yang sangat penting ini,” ujar Ketua PDM.
Dr Dian Berkah SHI MHI Sekretaris MTT PWM Jatim, menjelaskan bahwa sosialisasi ini merupakan amanat dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Tujuannya adalah agar seluruh jajaran Muhammadiyah memahami dan menjadikan KHGT sebagai pedoman dalam sistem penanggalan Islam yang mendukung berbagai kegiatan keagamaan,” katanya.
Ketua MTT PWM Jatim, Dr Ahmad Zuhdi MFilI, menegaskan bahwa KHGT adalah kontribusi Muhammadiyah bagi peradaban Islam. Kalender ini mengusung prinsip “satu hari satu tanggal” di seluruh dunia, memastikan keseragaman penanggalan Hijriah. “KHGT menjadi wujud tajdid Muhammadiyah yang lahir bertepatan dengan satu abad Majelis Tarjih dan Tajdid,” ujarnya.
Evolusi Sistem Hisab Muhammadiyah: Dari Imkanur Rukyat hingga Wujudul Hilal
Muhammadiyah telah menjadi pelopor dalam pengembangan sistem hisab untuk menentukan awal bulan Qamariyah di Indonesia.
Sejak era KH Ahmad Dahlan, organisasi ini terus memperbarui metode hisab sebagai bagian dari upaya tajdid (pembaruan) dalam beragama. Berikut adalah evolusi sistem hisab yang telah diadopsi Muhammadiyah dari waktu ke waktu menurut Ketua MTT PWM Jatim Dr Achmad Zuhdi.
1. Era Awal: 1915
Pada masa awal Muhammadiyah, penentuan awal bulan Qamariyah dilakukan oleh KH Siradj Dahlan dan KH Ahmad Badawi sekitar tahun 1915. Namun, tidak ditemukan catatan rinci mengenai kriteria yang digunakan pada masa itu. Penetapan kalender masih didasarkan pada metode tradisional yang belum memiliki standar jelas.
2. Imkanur Rukyat: 1927
Pada tahun 1927, Muhammadiyah mulai memperkenalkan kriteria imkanur rukyat. Metode ini mengacu pada kemungkinan melihat hilal saat matahari terbenam di hari ke-29 bulan Qamariyah. Bulan baru dianggap dimulai jika hilal terlihat atau berada di atas ufuk dengan ketinggian tertentu. Namun, pada periode ini, Muhammadiyah belum menetapkan batas ketinggian bulan secara spesifik.
3. Ijtimak Qabla al-Ghurub: 1937
Sepuluh tahun kemudian, pada 1937, Muhammadiyah mengadopsi kriteria baru yang dikenal sebagai ijtimak qabla al-ghurub. Menurut metode ini, jika ijtimak (konjungsi bulan dan matahari) terjadi sebelum matahari terbenam, malam itu dianggap sebagai awal bulan baru. Sebaliknya, jika ijtimak terjadi setelah matahari terbenam, bulan yang berjalan dianggap genap 30 hari. Sistem ini memulai hari baru sejak matahari terbenam, tanpa mempertimbangkan apakah bulan berada di atas atau di bawah ufuk.
4. Wujudul Hilal: 1939/1969
Pada 1939, Muhammadiyah memperkenalkan pendekatan wujudul hilal, yang menjadi tonggak penting dalam sistem hisab Muhammadiyah. Dalam metode ini, awal bulan baru ditentukan berdasarkan tiga syarat:
1. Ijtimak telah terjadi.
2. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam.
3. Saat matahari terbenam, bulan berada di atas ufuk.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, bulan berjalan dianggap genap menjadi 30 hari. Pendekatan ini memadukan aspek astronomi dan syariah, menjadikannya metode yang moderat antara imkanur rukyat dan ijtimak qabla al-ghurub.
KH Wardan Diponingrat (1911–1991) dikenal sebagai penggagas utama kriteria wujudul hilal. Metode ini kemudian menjadi dasar resmi Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Qamariyah.
5. Kritik dan Pengembangan Lanjutan
Meski memberikan dasar yang kuat, teori wujudul hilal tidak lepas dari kritik. Kritik terutama muncul saat posisi hilal sangat rendah sehingga sulit diamati secara fisik. Hal ini memicu diskusi di kalangan internal dan eksternal untuk terus menyempurnakan metode hisab Muhammadiyah.
6. Menuju Kalender Hijriyah Global Tunggal: 2015 dan 2024
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada 2015, organisasi ini menegaskan perlunya penyatuan kalender Hijriah secara global. Langkah ini mencapai puncaknya pada 2024, saat Musyawarah Nasional Tarjih ke-32 di Pekalongan menyepakati pemberlakuan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) sebagai kalender resmi Muhammadiyah.
KHGT didesain dengan prinsip satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia. Artinya, tanggal baru Hijriah berlaku secara seragam di semua negara, tanpa perbedaan berdasarkan posisi geografis.
Evolusi sistem hisab di Muhammadiyah mencerminkan semangat tajdid dan komitmen organisasi ini untuk memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan peradaban Islam.
Dari imkanur rukyat hingga KHGT, Muhammadiyah terus berinovasi, menjadikan ijtihad sebagai perjalanan intelektual yang tiada henti.
“Konsep ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang adaptif terhadap perubahan zaman, namun tetap berpegang pada prinsip syariah,” kata Dr Ahmad Zuhdi Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur.
Sosialisasi dan pelatihan hisab ini dipandu oleh tim MTT PWM Jatim, termasuk Ustaz Dr Achmad Zuhdi, Ustadz Dr Dian Berkah, Ustadz Syahroni, serta anggota Divisi Hisab lainnya seperti KH Ahmad Mukarram, Ustadz Fathurahman Sany, dan Ustadz Amirul Muhlisin, Ustadz Adi Damanhuri, Ustadzah Novi. Kehadiran tim lengkap ini memastikan transfer ilmu berjalan optimal.
Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam kepada warga Muhammadiyah, menjadikan KHGT sebagai pedoman bersama, serta memantapkan langkah Muhammadiyah dalam memberikan kontribusi nyata bagi penyatuan kalender Islam global. “Ini adalah bagian dari amal saleh dan ijtihad intelektual yang terus berlangsung,” tutup Achmad Zuhdi.
Penulis Syahroni Nur Wachid Editor Wildan Nanda Rahmatullah