Oleh Alfi Saifullah – Penulis kolom, buku biografi & sejarah
Buya Syafii Maarif (1935-2022) dan Jalaluddin Rumi (1207-1273), adalah dua sosok yang amat kontras. Buya Syafii cenderung berideologi Islam modern, berkemajuan, yang perlahan meninggalkan tradisi yang dianggapnya sebagai penghambat renaisans Islam. Termasuk beberapa doktrin dalam tarekat-tarekat sufi. Sebaliknya Rumi merupakan sufi besar dari Konya yang ajaran-ajarannya bertransformasi menjadi institusi tersendiri, tarekat Maulawiyah. Keduanya juga terpisahkan oleh ruang berbeda dan rentang waktu yang sangat panjang. Tetapi keduanya dipertemukan dalam entitas yang sama, artikulasi dan hikmah seekor laron (Macrotermes gilvus).
Pada harian Republika edisi 12 Oktober 2004, Buya Syafii mencoba menginterpretasikan tentang laron. Mengawali narasinya, Buya membahas laron dengan kebiasaan-kebiasaannya yang kerap mendekat kepada cahaya. Akibatnya, kedua sayapnya pun terlepas dan membuat si laron berkeliaran tanpa tujuan, kebingungan, tak tahu arah mana yang hendak dituju.
Laron Politik
Secara eksplisit maupun implisit, Buya memberikan metafor tentang budaya pragmatis dan oportunis. Budaya yang kerap menjangkiti beberapa orang ketika melihat orang lain sedang mulai naik daun, terutama seorang pejabat dan politikus.
Buya mengatakan, “laron politik adalah laron dalam bentuk manusia yang suka berkerumun mengelilingi seorang tokoh yang sedang bersinar”. Buya memberi contoh dengan mengambil contoh salah satu tim sukses SBY-JK, dengan menyebutnya banyak laron-laron yang sedang berkerumun pada pasangan SBY-JK. Dus, artikel yang ditulis menjelang pemilu 2004 seolah ramalan yang menjadi kenyataan terkait kemenangan pasangan SBY-JK sebagai pemegang tampuk kepemimpinan Indonesia 2004-2009.
Menurut Buya ― fenomena laron tidak hanya menjangkiti Indonesia, namun telah mewabah di seluruh permukaan bumi. Hanya yang membedakannya, fenomena laron di Indonesia telah sampai pada titik overload. Faktanya, laron-laron tersebut tidak melulu berkerumun disekitar presiden dan wakil presiden saja. Tetapi juga kepada siapapun yang lagi naik daun. Mereka bisa saja, artis, kiai, dukun, jenderal, wali kota, bupati, walikota, pengusaha, dan menteri. Lantas seberapa bahaya laron-laron tersebut?
Buya mengatakan, “Kerja utama mereka ialah memuji dan membesar-besarkan sang tokoh. Jika tidak awas, sang tokoh pada akhirnya menjadi lupa daratan dan lupa lautan. Jika berada dalam kondisi seperti ini, hampir dapat dipastikan bahwa masa depan sang tokoh sudah berada di pinggir jurang. Sementara negara yang di pimpinnya akan bangkrut” (Ahmad Syafii Maarif, 2005; 113).
Cahaya Maha Cahaya
Jika Buya juga memandang laron melalui perspektif sosial, Jalaluddin Rumi menginterpretasikannya dengan perspektif sufistik. Rumi kerap menggunakan tamtsil laron untuk menyampaikan beberapa ajarannya. Dalam ‘Fihi Ma Fihi’ Rumi berbicara tentang fungsi dan potensi nalar dalam memahami rahasia Ketuhanan. Sufi tersebut menganalogikannya dengan terminologi laron dan lilin.
“Nalar itu bagaikan laron dan kekasih IlahiNya bagaikan lilin. Ketika laron menerbangkan dirinya menuju lilin, tak dapat dielakkan lagi ia terbakar dan hancur. Laron tentu tidak akan mampu menahan nyala lilin, tapi dia tidak perduli. Ia rela menderita terbakar dengan seluruh rasa sakit yang dirasakan,” kata Rumi (Jalaluddin Rumi, 2018;64). Sampai disini pokok pemikiran Rumi adalah tentang mujahadah. Tentang realisasi akal dalam upaya memahami rahasia Ilahi. Akal tidak akan berhenti, terus berjuang dengan segala resiko yang mungkin akan menghadangnya. Hingga sampailah ia pada kedekatan intim dengan Sang Kekasih (Allah Swt).
Masih terkait perjalanan menuju Allah, di tempat lain Rumi masih menggunakan metafor laron untuk menyampaikan pesannya. “Dengan bangga dan senang mereka menuntunnya ke hadapan Raja dari segala Raja, agar seperti laron, ia terbakar di nyala api lilin tiraz” (Chindi Andriyani, 2017; 119).
Ketika telah berhadapan dengan Cahaya Maha Cahaya, seekor rayap (Isoptera) harus berkenan meninggalkan kegelapan sarangnya di dalam tanah dan bermetamorfosis menjadi seekor laron. Rumi menganalogikan sarang laron itu dengan berbagai kegelapan materi dan segala jenis nikmat duniawi yang jika tidak berhati-hati dan mendapat hidayah-Nya bisa berakibat fatal, menggelapkan jiwa.
Rumi berkata, “Jiwa-jiwa itu akan menjadi berat untuk bisa melakukan pengembaraan menemui Sang Kekasih. Bila laron-laron itu harus memikul bekal dan materi untuk terbang menemui Cahaya, niscaya laron-laron itu tidak akan bisa terbang. Karena itu, untuk bisa terbang menemui Sang Kekasih, mereka telah meninggalkan semua yang mereka miliki di dalam lubang bawah tanah (dunia). Materi hanya akan menambah beban dan membuatnya buta dalam gelap. Dalam gelap nyaris semuanya tidak tampak dan tidak ada” (Tasirun Sulaiman, 2020: 241).
Sekali lagi Rumi juga menggunakan analogi laron ketika melarang siapa pun berlagak layaknya Tuhan. Merasa benar sendiri, lantas menyalahkan siapa pun yang berbeda pendapat dengannya. “Jangan berlagak jadi lilin. Jadilah laron, biar kau rasakan nikmat hidup. Dan tahu kekuatan rahasia melayani. Kalau tak mampu meluruhkan diri, temukan saja cinta, agar kau temukan Cahaya. Dengan itu saja, kau bisa menerangi dirimu”, kata Rumi.
Walhasil, ternyata kedua tokoh itu menggunakan imajinasinya masing-masing untuk menginterpretasi laron. Imajinasi sosial versus imajinasi sufistik. Dalam konteks kekinian (terutama terkait pilkada serentak), selayaknya kita tidak terjebak menjadi laron seperti dalam pandangan Buya Syafii Maarif. Sebaliknya, meskipun berat dan butuh energi, juga repetisi berkali-kali, menjadi laron seperti yang Rumi jelaskan merupakan goal setting utama bagi setiap muslim dimanapun ia berada.(*)
Editor Notonegoro