Oleh Nurbani Yusuf – Pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO – Secara tampilan Ustadz Mujiman (UM) merepresentasi diri sebagai sosok penuh kesederhanaan dan kepolosan. Beliau popular di media sosial sebagai dai tarkam (antar kampung) yang wilayah dakwah atau ceramahnya tidak jauh dari langgar/mushala yang ada disekitarnya, dan atau masjid-masjid sederhana yang notabene milik Muhammadiyah.
Sebaliknya, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyimbolkan intelektualitas, wilayah dakwahnya cenderung ke kampus-kampus, jamaahnya atau orang-orang yang menyukai ceramahnya banyak dari kalangan terdidik dan terpelajar, kaum elit perkotaan dan juga kelompok strata atas lainnya.
Sedang dari sisi pemikiran, UM lebih merepresentasikan sebagai penganut faham puritanis, ideologis dan ekslusif. Corak pemikirannya cenderung originalitas, merawat otentitas generik. Sehingga, sebagian yang lain yang berbeda cara berfikir dengan UM menyebut UM berpemikiran jumud atau stagnan.
Hal ini berbeda dengan UAH yang selalu menyuguhkan pemikiran yang dinamika, cenderung inklusif, mendobrak kejumudan, lebih moderat, menampakkan intelektualitasnya dengan mengedepankan kekuatan sumber-sumber referensi yang terbuka. Sehingga sebagian yang tidak setuju dengan metode atau pendekatan yang digunakan UAH menyebutnya sebagai berpemikiran liberal.
Diantara keduanya pun akhirnya memantik pertanyaan, “siapakah yang lebih mujtahid?” Tentunya pertanyaan ini mendasar dan tak perlu dijawab. Apalagi sampai mengkomparasikan (membandingkan) keduanya dengan takaran yang tidak baku. Karena hasilnya dipastikan bias.
***
Saya bukan muttabi’ apalagi mujtahid. Saya hanya seorang muqallid. Pada beberapa hal saya cenderung taqlid pada pendapat UM, dan beberapa hal yang lain saya taqlid pada UAH.
Berawal dari mencermati perbedaan penampilan dan pemikiran antara UM dan UAH, saya mencoba untuk melakukan studi perilaku keberagamaan warga Muhammadiyah dengan tanpa perlu saling merendahkan kedua ulama panutan tersebut.
Realitasnya, jika kita cermati sesungguhnya model keberagamaan jamaah Muhammadiyah adalah kolektif kolegial. Bahkan fatwa-fatwa terkait selisih paham dalam keberagamaan, Muhammadiyah memutusnya secara jama’i. Karena semua diputus secara jama’i, maka Muhammadiyah hampir-hampir tidak ada ulama populer secara individual.
Jamaah Muhammadiyah hanya mengenal Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) dengan produk fatwanya. Tetapi tetap saja tidak bisa dikenali siapa ulamanya yang secara personal menelorkan fatwa tersebut. Sehingga sampai detik ini pun, saya tidak pernah mengenal siapa Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, baik di tingkat pusat atau wilayah. Meski saya pastikan telah baca semua produk fatwanya.
Hal ini jika perlu membandingkan, maka kelompok salafi lebih cenderung dominan dengan ulama yang berfatwa secara individual. Karena itu, popularitas personal ulama salafi umumnya lebih menonjol daripada popularitas jamaahnya.
***
Studi prilaku keberagamaan warga Muhammadiyah memang menarik dicandra. Setidaknya di era keterbukaan dengan suasana yang egaliter ini warga Muhammadiyah semakin tampak sikap demokratisnya.
Ulama dan jamaah Muhammadiyah menjadi semakin tidak menampakkan perbedaan. Warga Muhammadiyah juga tak mengenal atau tak memiliki ustadz atau ustadz kultural semacam kyai atau sebutan lainnya yang seidentik.
UM dan UAH inilah yang kemudian mengisi kekosongan itu. Memberikan pesan bahwa sesungguhnya warga Muhammadiyah merindukan sosok panutan. Sosok yang bisa untuk digurukan, di kyaikan atau di ustadzkan. Karenanya, kedua ulama Muhammadiyah tersebut kini telah mengisi khazanah pemikiran.
***
Hadirnya corak yang berbeda antara UM dan UAH, kini perilaku keberagamaan warga Muhammadiyah pun menjadi lebih seru. Bahkan mungkin lebih seru membandingkan dengan keseruan perbedaan penampilan dan pemikiran UM dan UAH itu sendiri.
Sebagian ada yang menjadikannya antagonis. Mencoba mempertentangkan UM dan UAH dengan berbagai maksud dan kepentingan. Ada yang menyusup dan menjadikan sebagai tempat perlindungan dan legitimasi paham-paham keagamaan. Ada yang hanya ingin menjadikannya sebagai rujukan.
Studi keberagamaan jamaah Muhammadiyah ini sungguh sangat menarik. Meski jarang dilakukan. Maka pada kesempatn ini, Komunitas Padhang Makhsyar yang sering melakukan riset, tertarik dan tertantang pula untuk mengisi kekosongan ini. Dengan menggunakan tema “Fenomenologi Alfred Schutz: Studi Tentang Konstruksi Makna dan Realitas”, studi ini menggunakan pendekatan fenomenologis terhadap jamaah Muhammadiyah untuk dijadikan sumber informasi (informan).
Sebagai evaluasi, acapkali di Muhammadiyah mengeluarkan fatwa, namun tak ada evaluasi sejauh mana pengamalan fatwa-fatwa itu secara konsisten oleh jamaah Muhammadiyah di akar rumput (grassroot). Tak ada sama sekali evaluasi tentang efisiensi dan efektitas fatwa. Mengapa demikian? Karena rata-rata ulama tarjih masih nyaman berdiam di menara gading dan belum berhasrat untuk lebih mengenal jamaah akar rumputnya.
Editor Notonegoro