Oleh: Imam Yudhianto (anggota KMM Magetan)
PWMU.CO – Dalam derasnya arus Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, diskursus tentang reformasi pendidikan memantik perdebatan fundamental: apakah pendidikan kita benar-benar menuju liberasi intelektual, ataukah hanya berganti rantai pengekang? Profesor Satryo Soemantri Brodjonegoro dan Profesor Abdul Mu’thi menjadi suara kritis atas dilema ini.
Mereka menyoroti bagaimana peran guru sering kali terpinggirkan dalam gelombang perubahan yang mengedepankan administrasi dan angka-angka kuantitatif, sementara substansi pendidikan merosot menjadi sekadar instrumen teknokrasi. Guru, alih-alih menjadi motor penggerak perubahan, kerap terperangkap dalam lingkaran struktural sebagai operator kebijakan belaka.
Ironi ini terlihat dalam banyak fenomena dari kriminalisasi guru honorer hingga polemik “doktor kilat” di lingkungan akademik yang mengindikasikan krisis multidimensional dalam pendidikan. Transformasi kurikulum yang terfragmentasi semakin menambah beban mental guru, mengaburkan makna esensial pendidikan sebagai pembebasan manusia.
Dalam lima tahun terakhir, kebijakan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mempercepat digitalisasi pendidikan, menjadikan teknologi sebagai fondasi utama pembelajaran. Pandemi COVID-19 mengakselerasi fenomena ini, memaksa guru dan siswa beradaptasi dengan lingkungan virtual.
Namun, digitalisasi ini menyisakan paradoks: interaksi belajar tereduksi menjadi sekadar pengalaman layar dua dimensi, kehilangan dimensi-dimensi fisikal dan emosional yang tak tergantikan. Esensi pendidikan sebagai pengalaman holistik—melibatkan tubuh, ruang, dan jiwa—bergeser menuju keterjebakan dalam algoritma dan klik.
Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seorang nabi diutus melainkan ia menjadi penggembala.” Para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga?” Beliau menjawab, “Ya, aku menggembala kambing milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini mengandung filosofi mendalam bahwa seorang pendidik sejati adalah pemimpin yang mampu menggiring, membimbing, dan menjaga kawanan menuju tujuan. Guru, dengan segala otoritas moral dan spiritualnya, adalah poros pendidikan yang sejati, bukan sekadar instrumen administratif. Namun, dalam kerangka modernitas yang menuntut efisiensi tanpa batas, otoritas ini mulai terkikis, terpinggirkan oleh mekanisme institusional yang cenderung dehumanisasi.